Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendedah Kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya

19 Juni 2018   12:28 Diperbarui: 19 Juni 2018   13:29 2428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PADA era pemerintahan Panembahan Senapati, Mataram berselisih dengan Mangir yang dikuasai oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya (Ki Ageng Mangir IV). Namun apakah perselisihan itu merupakan fakta sejarah atau fiksi sejarah masih belum dapat ditentukan secara tegas.  Mengingat kisah perselisihan tersebut telah bercampur aduk dengan cerita tutur yang berkembang dari mulut ke mulut. Sehingga pengurangan dan penambahan dari kisah aslinya dimungkinkan terjadi.

Sungguhpun demikian, penulis akan menyampaikan tentang kisah perselisihan antara Panembahan Senapati dan Ki Ageng Mangir berbagai berbagai sumber. Selain itu, penulis juga akan mencoba untuk menganalisa perihal perselihan kedua tokoh tersebut secara gamblang. Namun sebelum menginjak pada bahasan inti, terlebih dahulu kita ketahui tentang silisilah Ki Ageng Mangir Wanabaya.

Silsilah Ki Ageng Mangir

NAMA Ki Ageng Mangir IV yang memiliki nama asli Bagus Wanabaya ditemukan dalam Babad Tanah Jawa. Naskah tersebut menyatakan bahwa Ki Ageng Mangir masih trah Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Sementara Panembahan Senapati pula merupakan trah Prabu Brawijaya V. Dengan demikian, keduanya masih keturunan raja Majapahit di mana naskah tersebut mengacu pada tokoh Bhre Kertabhumi. Bukan mengacu pada tokoh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang takluk saat berperang melawan Kesultanan Demak.

Kembali pada Babad Tanah Jawa. Menurut naskah tersebut, silsilah Ki Ageng Mangir IV sebagai berikut: Lembu Peteng (Lembu Amisani) -- Ki Ageng Mangir I (Raden Megatsari) -- Ki Ageng Mangir II -- Ki Ageng Mangir III -- Bagus Wanabaya. Kemudian dikenal dengan Ki Ageng Mangir Wanbaya, karena ia mewarisi kekuasaan nenek moyangnya di Mangir. Suatu daerah perdikan Majapahit di era pemerintahan Prabu Brawijaya V yang terletak di dekat Sungai Praga (sekarang di wilayah Bantul).

Sewaktu menjadi penguasa Mangir, Bagus Wanabaya masih lajang. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sepeninggal Ki Ageng Mangir III, Bagus Wanabaya masih berusia muda. Sungguhpun demikian, Bagus Wanabaya suka memelajari ilmu kasepuhan yang beraliran ajaran Syekh Siti Jenar. Karena suka lelaku, Bagus Wanabaya dapat memiliki tombak Kiai Baru Klinting.

Berkat memelajari ilmu spiritual dan kanuragan, Bagus Wanabaya dikenal sebagai pemuda sakti mandraguna. Karena kesaktian dan tombak Kiai Baru Klinting yang dimilikinya, Penembahan Senapati yang menyerang Mangir beserta pasukannya mengalami kekalahan.

Rantai Emas

KEGAGALAN menundukkan Ki Ageng Mangir IV, Penembahan Senapati disarankan oleh Juru Mrentani untuk menggunakan rantai emas. Karena Ki Ageng Mangir masih lajang dan sangat tertarik dengan kesenian Tayub, maka Panembahan Senapati menggunakan Retna Pembayun putrinya sebagai rantai emas.

Atas nasihat Juru Mrentani, Retna Pembayun menyamar sebagai ledhek (penari seni Tayub). Dengan disertai Adipati Martalaya (Dalang Sandiguna), Ki Jayasupanta, Ki Sandisasmita, Ki Suradipa, dan Nyai Adirasa; Retna Pembayun meninggalkan Mataram. Sesudah mandi di Sendang Kasihan (Bantul), Pembayun beserta rombongannya menuju ke wilayah Mangir untuk barang ledhek (ngamen dengan menari tayub). Ketika menjadi ledhek, Retna Pembayun menggunakan nama samaran Lara Kasihan.

Mendengar warta bahwa serombongan kesenian tayub dengan penari berwajah jelita tengah ngamen di wilayahnya, Ki Ageng Mangir berkenan untuk menyaksikan. Maka, Ki Ageng Mangir mengutus bawahannya untuk mengundang kesenian tayub itu pentas di halaman Dalem Mangiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun