SATU hari menjelang Lebaran, suasana lalu-lintas semakin dipadati kendaran dari para pemudik. Tidak khayal, kalau kemacetan di jalan raya terjadi sejak pagi hingga malam hari. Kemacetan pun tidak hanya tampak di jalan utama, melainkan di jalan alternatif.
Kesibukan pula tampak di kota, di desa, dan di pegunungan. Banyak warga sibuk dengan persiapan Lebaran. Mereka membersihkan rumah, terutama ruang tamu, serta halaman. Mengingat mereka akan menerima tamu baik warga lokal maupun keluarga jauh untuk ber-halal bihalal.
Sebagian warga yang menyelesaikan pekerjaan rumahnya, pergi ke makam untuk nyekar kepada leluhurnya. Selain membersihkan makam, mereka mendoakan leluhurnya. Ketika nyekar, sebagian mereka membakar dupa dan menaburkan bunga di batu nisan.
Kesibukan pula tampak di masjid-masjid. Sejak pagi, sekawanan pemuda dan remaja baik putra maupun putri berkumpul di masjid. Tidak ada aktivitas yang mereka lakukan, selain untuk membagikan zakat fitrah pada setiap keluarga yang berhak menerimanya.
Membuat Ketupat dan Kenduri Ketupat
SELAIN kesibukan di muka, tampak kesibukan lain yang lebih menarik untuk dicermati. Kesibukan warga yang dilakukan menjelang Lebaran tersebut yakni membuat ketupat dan kenduri ketupat. Biasanya, ketupat dibuat sejak pagi hingga siang hari. Sementara, kenduri ketupat dilaksanakan selepas magrib atau sebelum takbiran.
Bila memasuki perkampungan yang masih kental dengan tradisi, kita akan menyaksikan warga duduk di teras sambil membuat selongsong ketupat dari janur (daun pohon kelapa). Agar selongsong ketupat tampak indah serupa warna papan catur atau kain poleng, warga menggunakan 2 janur -- 1 janur berwarna kuning dan 1 janur lainnya berwana hijau.
Pada umumnya, warga hanya membuat 3 macam ketupat yang disebut Ketupat Luwar, Ketupat Sinto (Sinta), dan Ketupat Tumpeng. Sementara beberapa macam ketupat lain yang tidak dibuat untuk menyambut Lebaran adalah Ketupat Panggang (2 janur), Ketupat Kodhog (2 janur), Ketupat Beton (1 janur), dan Ketupat Bata (4 hingga 8 janur).
Menurut persepsi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofis yang berkaitan erat dengan Lebaran. Mereka menyebutkan bahwa kata "ketupat" merupakan kirata basa atau jarwa dhosok dari ngaku lepat (mengaku kesalahan) atau laku papat (empat laku).
Maksud dari laku papat, yakni bahwa Lebaran mengandung makna lebar, lebur, luber, dan labur. Lebar menyiratkan makna bahwa umat Islam telah mengakhiri ibadah puasa. Lebur mengandung makna bahwa umat Islam saling melebur kesalahan dengan meminta dan memberi maaf. Luber memiliki makna bahwa umat Islam melimpahkan rezeki Allah pada sesamanya. Labur mengandung pengertian bahwa umat Islam memulai hidup baru yang lebih baik sesudah kembali fitri.
Sementara, ketiga macam ketupat -- Ketupat Luwar, Ketupat Sinto, dan Ketupat Tumpeng -- yang dibuat selongsongnya, dimasak, dan dikendurikan selepas maghrib pula memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan Lebaran. Di mana Ketupat Luwar dimakna bahwa Lebaran menandakan terbebasnya dosa umat Islam kepada Alllah serta kesalahan kepada sesamanya. Ketupat Sinto (yoni) dan Ketupat Tumpeng (lingga) mengandung makna bahwa Lebaran telah mendinamisasikan hubungan antara manusia dengan Allah.
Selepas maghrib, seluruh warga datang ke rumah ketua RT dengan membawa ketupat. Mereka berdoa agar ibadah puasa yang dilakukan umat Islam pada bulan suci Ramdhan mendapat anugerah Allah. Semoga ibadah mereka menjadi berkah yang mengarah pada kerukunan warga.
Melakukan TakbiranÂ
MALAM menjelang takbiran, umat Islam tidak lagi menjalankan salat tarawih. Sesudah menunaikan jamaah isya', mereka melakukan takbiran baik dilakukan di masjid maupun dilaksanakan dengan berkeliling kota, desa, atau kampung. Â Â
Refleksi Diri
MUNCUL pendapat bahwa tidak ada kegiatan menjelang Lebaran yang paling tinggi nilainya selain melakukan refleksi diri. Melalui refleksi diri, umat Islam akan meningkatkan ketakwaan dan keimanan pada Allah dan semakin peduli dengan lingkungan sosialnya.
Dengan melakukan refleksi diri, umat Islam akan memahami bahwa ibadah puasa yang hakikatnya untuk mengendalikan hawa nafsu niscaya dilakukan kapan dan di mana saja. Sehingga umat Islam yang berhasil menyatukan spirit Ramadhan di dalam jiwanya tidak pernah merasa ditinggal atau meninggalkan bulan penuh berkah itu.
-Sri Wintala Achmad-