CENDERUNG dipahami, seseorang belajar hanya kepada manusia berpredikat guru. Pemahaman ini tidak sepenuhnya tepat. Mengingat seorang dapat belajar kepada binatang, tumbuhan, atau alam. Misal, seorang ingin meraih sukses harus berguru pada rajawali yang selalu terbang lebih tinggi bila diterjang badai.
Seorang ingin menjadi dermawan harus berguru pada pohon buah yang selalu berderma pada musimnya tanpa mengharapkan imbalan. Seorang ingin menjadi kiai (ustadz) harus belajar pada matahari yang memberi petunjuk mulia kepada seluruh santrinya tanpa meminta upah sepeser pun.
Seorang juga bisa belajar pada waktu madya ratri (tengah malam) di desa atau pegunungan. Di mana, koor serangga atau akapela katak di musim hujan membangun suasana damai. Suasana madya ratri ini yang seyogianya diciptakan selama bulan suci Ramadhan. Bulan penuh berkah yang semustinya diwarnai dengan praktik nyata di dalam menjalin hubungan horisontal dan transendental.
Bukan diharubirukan dengan petasan, gedhumbyengan, atau raungan aau klakson motor dari sekelompok remaja yang tengah melakukan SOTR (Sahur on the Road). Suatu tradisi dadakan yang mulai merebak di kota-kota besar.
SOTR antara Pro dan Kontra
PADA beberapa wilayah di Indonesia, bulan suci Ramadhan sering diwarnai dengan aneka tradisi dadakan, misal: membakar petasan, buka bersama, gugah-gugah (membangunkan orang untuk bersantap sahur), atau SOTR. Dikatakan dadakan, karena tradisi-tradisi itu tidak pernah ada pada bulan-bulan biasa.
Berbeda dengan tradisi-tradisi dadakan lainnya, SOTR yang marak dilakukan para remaja di kota besar itu mulai disorot dan diwacanakan oleh berbagai pihak. Dari pewacaan itu kemudian menimbulkan pro dan kontra. Bagi mereka yang pro, SOTR merupakan hak azasi setiap warga, karenanya boleh dilakukan.
Bagi mereka yang kontra, SOTR yang diwarnai dengan tawuran antar anggota gang atau penganiayaan pada seorang warga sebagaimana diberitakan tribunnews.com (Senin, 4 Juni 2018) seyogianya tidak musti dilakukan.
Dari dua pendapat (tesis dan antitesis) yang bertentangan di muka niscaya memunculkan pendapat baru (sintesis). Menurut hemat penulis, SOTR bebas dilakukan oleh setiap warga karena mereka memiliki hak azasi. Namun kebebasan itu harus memberi kemerdekaan pada orang lain. Artinya, hak azasi peserta SOTR tidak melanggar hak azasi orang lain yang mendambakan kenyamanan istrirahat hingga datang fajar.
Bila peserta SOTR menerapkan prinsip bebas namun memberikan kemerdekaan pada orang lain niscara tradisi dadakan itu tidak menimbukan keresahan. Selain peserta juga turut mengondisikan agar bulan suci Ramadhan memberikan berkah pada semua umat, serta menjaga citra Islam sebagai agama yang menebarkan cinta-kasih dan kedamaian di muka bumi.
Tindakan Konkret Pihak-Pihak TerkaitÂ