Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Tangan Panjang Tuhan Menjelma Lelaki Lusuh di Terminal Giwangan

22 Mei 2018   22:09 Diperbarui: 23 Mei 2018   00:27 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://nasional.republika.co.i

Teringat sembilan tahun silam sewaktu saya ngekos dekat Terminal Giwangan, Yogyakarta. Karena hasil menulis di salah satu penerbit mayor di bilangan Bantul hanya bisa digunakan untuk bertahan hidup selama sebulan, saya harus menghemat uang. Sungguhpun sudah berusaha keras untuk berhemat, namun masih sering hutang kepada kawan penulis yang baru saja mendapat royalti atau honor dari kontrak oplah naskahnya.

Ketika bulan Ramadhan tiba, banyak penerbit mayor yang mengurangi jumlah judul  buku untuk diterbitkan. Mengingat pada bulan itu, sebagian besar masyarakat tidak belanja buku. Uang yang seharusnya mereka belanjakan untuk buku digunakan untuk lebaran. Dengan begitu, beberapa penulis, termasuk saya, tidak memiliki cukup uang untuk berbuka puasa dan sahur dengan layak. Bulan Ramadhan benar-benar menjadikan saya hidup dalam keprihatinan.

Dari keprihatinan itulah, saya sangat menghargai uang. Tanpa tindakan itu, saya tidak akan bisa berbuka puasa atau sahur.  Karenanya sewaktu santai di pintu keluar terminal ambang buka puasa, saya menolak ajakan seorang lelaki paruh baya berpakaian lusuh untuk berbuka di angkringan seberang jalan. Pikir saya, ia meminta saya untuk menraktirknya.

Tetapi perkiraan saya terhadap maksud lelaki lusuh itu meleset. Bukannya ia meminta saya untuk menraktirnya. Justru ia ingin menraktir saya. Sesudah ia menunjukkan isi dompet yang penuh lembaran uang warna merah, saya kabulkan ajakannya. Berbuka puasa di warung padang yang tidak jauh dari pintu keluar terminal itu.

Tidak lama sesudah gaukbuka terdengar dari salah satu masjid, saya dan lelaki lusuh itu menyantap sepiring nasi padang lengkap sayur dan lauknya. Selagi menikmati buka, saya sempatkan ngobrol dengan lelaki bernama Sularto itu. Menurut pengakuannya, ia berasal dari Purworejo. Ia hendak pergi ke Solo untuk membelikan sepeda motor pada anaknya yang kuliah di UNS.

"Dugaan saya sekarang...," celetukku sesudah bersantap buka. "Bapak ini orang kaya. Kenapa tampil begitu sederhananya?"

"He..., he..., he...," Sularto tertawa kecil. "Kesederhanaan identik dengan keselamatan. Kesederhanaan akan menjauhkan diri dari kejahatan. Prinsip ini sudah lama mendarah daging dalam hidup saya."

Mendengar penuturan polos itu, saya mulai paham kenapa Sularto tampil dengan pakaian lusuh. Selain saya merasa mendapat petuah agar tidak menilai seseorang semata dari penampilan luarnya. Banyak orang tampil seperti orang melarat, namun sejatinya kaya harta. Sebaliknya, banyak orang tampil mewah sesungguhnya miskin dan jahat tindakannya.

Betapa Sularto yang telah meninggalkan terminal dengan bus ekonomi jurusan Yogya-Surabaya itu, saya pikir sebagai tangan panjang Tuhan. Di mana ia hadir pada saya bukan sekadar memberi rezeki berupa traktiran nasi padang untuk berbuka, melainkan pula memberi pencerahan. Inilah salah satu misteri dalam bulan suci Ramadhan yang tidak akan pernah saya alpakan sampai tutup usia. (Sri Wintala Achmad)

Catatan:

Naskah ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis sewaktu ngekos di dekat terminal Giwangan (Yogyakarta) pada bulan Ramadhan tahun 2009.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun