Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Otobiografi 1) Dari Puisi Radio hingga Sastra Tiga Bahasa

17 April 2018   06:02 Diperbarui: 17 April 2018   08:06 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Yonas Suharyono

Sesudah dua koran di Yogyakarta memuat puisi-puisi saya, saya semakin gigih untuk meningkatkan kualitas karya. Upaya ini saya maksudkan agar koran-koran lain berkenan memuat puisi-puisi saya. Dari upaya yang tanpa mengenal putus asa itu, arkian puisi-puisi saya tidak hanya mampu menembus media massa daerah, namun pula media massa pusat. Ini merupakan buah termanis yang saya nikmati sesudah sekian lama setia merawat tanamannya.

Empat Laku

Berhasilnya tujuan dalam memublikasikan puisi baik di media massa daerah maupun pusat tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya yang saya lakukan untuk terus meningkatkan kualitas karya. Suatu upaya positif yang saya tempuh dengan empat laku, yakni:

Pertama, membaca puisi dari penyair lain. Melalui laku ini, saya dapat belajar berbagai ragam tipografi, gaya bahasa, diksi, dan kekhasan dalam penulisan puisi dari penyair lain. Dari sana, pengetahuan saya tentang puisi yang memenuhi standar kualitatif semakin luas. Dari sana pula, saya serasa dituntut untuk mencipta puisi dengan tipografi, gaya bahasa, diksi, dan kekhasan yang mencerminkan kepribadian saya sendiri.

Kedua, melakukan otokritik terhadap puisi sendiri. Dengan laku ini, saya dapat mengetahui puisi pribadi yang belum atau yang sudah memenuhi standar kualitatif. Apabila belum memenuhi standar kualitatif, maka saya harus berulangkali merevisinya. Andaikan revisi yang saya lakukan tidak berhasil menyempurnakan puisi itu, maka saya menganggapnya sebagai karya gagal yang tidak perlu dibuang. Sebab itu, saya merasa malu pada diri sendiri saat melabuh ribuan puisi yang saya anggap sebagai karya gagal ke Pantai Parangkusuma (1990). Selain malu, saya tidak dapat berkaca pada sebagian sejarah masa silam saya yang hilang.

Ketiga, meningkatkan interaksi kreatif dengan sesama penyair (sastrawan). Berkat kesadaran atas laku ini, saya melakukan interaksi kreatif dan berdiskusi tentang penciptaan puisi dengan beberapa penyair yang telah makan banyak asam-garam, semisal: Fauzi Absal, Suryanto Sastro Atmodjo, dan Kuswahyo SS Rahardjo. 

Selain itu, saya sering melibatkan diri dalam diskusi sastra baik yang diselenggarakan oleh Sanggar Yoga Sastrapress (SYS) asuhan Ragil Suwarno Pragolapati maupun Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta pada penghujung sampai awal dekade 90-an. Melalui diskusi sastra tersebut, saya dapat mencerap ilmu tentang penciptaan puisi yang baik dari para suhu sastra.

Keempat, menjalankan olah batin. Dengan menjalankan olah batin sebagaimana yang disarankan RPA Suryanto Sastra Atmadja baik melalui lelana brata (mengembara) maupun tapa brata (meditasi), saya dapat menemukan ide-ide cemerlang untuk dituang ke dalam karya sastra bergenre puisi. Tidak terduga, ternyata olah batin mampu menjadikan puisi-puisi yang saya ciptakan serasa memiliki roh dan getar hayati.

Menulis Geguritan Sesudah Sakit

Pada tahun 1993-1995, interaksi kreatif saya dengan para kawan penyair mulai terputus karena lama menderita sakit. Tubuh saya menjadi lemah. Jiwa saya dalam kecemasan. Bila malam, tubuh saya yang selalu demam tidak dapat ditidurkan. Kalau sempat tertidur, saya mengalami tindhihen (kelumpuhan tidur). 

Hingga suatu malam, serasa ada makhluk berbau amis menindih tubuh saya. Akibatnya, tubuh saya tidak bisa digerakkan. Baru bisa digerakkan, sesudah saya yang berada di antara jaga dan tidur melafalkan "Allahu Akbar" secara berulang-ulang, sambil mengirimkan kekuatan dzikir itu pada bagian tubuh yang tindhihen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun