Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng | "Hujan Parasut di Wonosari" [Perang Gerilya Soedirman Bagian 1]

4 April 2018   11:44 Diperbarui: 4 April 2018   11:46 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: republika.co.id

GERRIMIS yang berujung hujan lebat itu telah mereda. Belum tuntas langit sore menghamparkan kemegahannya, matahari keburu bersemayam ke sarang malam. Senja turun dengan bulan sepotong tergores seleret awan tipis mengambang di pusar langit. 

Dengan disertai sekompi pasukan, Soedirman yang penyakit batuknya tengah kambuh itu menaiki tandu beroda empat manusia. Meninggalkan Perkampungan Bintaran Wetan. Menyusuri jalan-jalan perkampungan yang tak terjangkau mata Belanda. Melangkah ke arah selatan. 

Selepas menyeberangi Sungai Opak yang berarus deras, Soedirman bersama pasukannya telah menginjakkan kakinya di kawasan Parangtritis. Manakala sepotong bulan telah terbenam, Soedirman memerintahkan pasukannya untuk menghentikan langkah. 

Ilustrasi: aktual.com
Ilustrasi: aktual.com
Soedirman segera keluar dari tandu yang telah diturunkan di atas hamparan pasir oleh keempat pemanggulnya. Dengan mengenakan mantel hijau tebal, Soedirman berdiri di antara Heru Keser, Cakra Pranala, Suparja Rustam, Suwondo, dan seluruh pasukannya yang membentuk barisan di antara dua gumuk pasir.

"Saudara-saudaraku sebangsa seperjuangan! Perjalanan gerilya baru saja kita mulai. Perjalanan untuk membela keadilan. Kita adalah bangsa terhormat, yang tak ingin mati di atas cabang kemunafikan." Soedirman terbatuk-batuk. "Mulai detik ini, jangan panggil aku Soedirman! Panggil saja, Pak De!".

Samudra selatan menggedeburkan gelombang. Seluruh anggota pasukan menoleh ke arah selatan. Tubuh mereka tergetar, manakala kedua matanya menangkap seleret cahaya hijau. Memancar terang dari atas hamparan laut ke arah tandu. Dalam diam, mereka berbisik pada dirinya sendiri: "Kanjeng Ratu Kidul telah membantu perjuangan Pak De!"

Suwondo melangkah setengah berlari ke arah Soedirman yang kembali terbatuk-batuk di depan tandu sambil memegang erat dadanya. "Sebaiknya Pak De segera memasuki tandu. Udara malam sangat dingin. Kurang baik untuk kesehatan Pak De."

"Ya, dok. Terima kasih." Soedirman mengusap-usap dadanya yang terasa perih. Menyapukan pandangannya ke seluruh anggota pasukan yang tampak samar-samar. "Kalian boleh istirahat. Sebelum matahari terbit dari balik bukit timur, kalian harus sudah terbangun. Kita lanjutkan perjalanan."

"Siap, Pak De."

Soedirman membalikkan tubuhnya. Melangkah perlahan memasuki tandunya. Ketika Soedirman telah menurunkan kain penutup tandu, seluruh anggota pasukannya duduk satu per satu. Merebahkan tubuhnya di hamparan pasir. Melepaskan lelah sesudah menempuh sekian pal perjalanan.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun