Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Emprak", Seni Tradisi yang Perlu Dibangkitkan dari Kubur

27 Maret 2018   21:25 Diperbarui: 27 Maret 2018   21:31 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kecamatankembang.wordpress.com

Hal menarik untuk diketahui, Emprak memiliki beberipa spesifikasi yang membedakan dengan seni teater tradisional lainnya. Beberapa spesifikasi. Spesifikasi pertama bahwa  bahwa cerita Emprak berlatar belakang kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bersumber Serat Ambiya. Seluruh pemain di dalam Emprak baik berperan sebagai raja, patih, pendeta, ksatria, putri, senapati, prajurit, cantrik, punakawan, maupun emban menari sewaktu memasuki dan meninggalkan panggung.

Tidak seperti di dalam wayang wong, langen mandra wanara atau langen driya, pemeran putri dan emban di dalam Emprak diperagakan oleh seorang pria. Kostum para peraga (selain peraga setan, raksasa, dan harimau) bergaya gedhog Mataraman. Riasan untuk semua peraga di dalam Emprak di tidak jauh berbeda dengan riasan para pemain kethoprak.

Alat musik yang terdiri kendang, gong, kempul, kethuk, dean kenting terbuat dari samak kulit lembu dan kayu nangka. Selain kendang, empat alat musik tersebut berbentuk serupa terbang. Alat musik yang berupa keprak berfungsi untuk mengawali, mengakhiri, dan mengganti adegan. Sementara seluruh wiyaga di dalam Emprak melantunkan syalawat secara koor dengan diiringi musik yang terkesan sangat monoton, namun magis.

Menghidupkan dan Mengembangkan

Emprak yang menunjukkan gairah kehidupannya pada dekade 60-80an tersebut sering ditampilkan pada event peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Emprak pula sering ditampilkan pada acara syawalan, pernikahan, mitoni, syukuran kelahiran bayi, atau khitanan. Namun senasib sebagian besar seni teater tradisional lain, Emprak mengalami nasib buruk ('kematian') semasa generasi milenium mulai cenderung berselera mengonsumsi karya-karya seni modern (barat).

Nasib buruk yang menimpa seni Emprak sesungguhnya merupakan kesalahan kelompok Emprak itu sendiri. Persepsi ini berdasar pada pengamatan, bahwa kelompok-kelompok Emprak yang melakukan regenerasi namun anti eksplorasi kreatif dan estetik tersebut sebagai faktor penyebab 'kematian' Emprak.

Masih adakah kemungkinan untuk menghidupkan atau mengembangkan Emprak? Kemungkinan niscaya ada. Selama terdapat pihak-pihak yang berhasrat untuk melakukannya. Mengingat Emprak bukan makhluk Tuhan yang hidup dan mati tergantung di tangah Tuhan. Emprak merupakan hasil budi daya manusia yang mati dan hidupnya tergantung pada manusia itu sendiri.

Dikarenakan Emprak merupakan seni berbasis teater, maka salah satu pihak yang tepat untuk menghidupkan dan mengembangkannya adalah para insan teater. Bukan para mantan anggota atau (sesepuh) Emprak yang sebagian telah mengalmarhum, dan sebagian yang lain tidak peduli lagi dengan nasib buruk kesenian tersebut.

Upaya menghidupkan dan mengembangkan Emprak tidak semudah membalik telapak tangan. Karena kita musti mendapatkan dokumen asli Serat Ambiya yang merupakan naskah babon di dalam pertunjukan Emprak. Perihal Serat Ambiya bisa dilacak di dusun Gejawan atau Kluwih, Balecatur, Gamping, Sleman. Dua desa yang pernah memiliki kelompok seni Emprak.

Terhadap Serat Ambiya, pengembang Emprak dapat menjadikannya sebagai sumber di dalam membuat teks pertunjukan yang standar (lengkap dengan dialog antar peraga). Ini dimaksudkan agar Emprak yang sebelumnya dimainkan oleh para peraga melalui dialog improvitatif tersebut dapat dimainkan dengan mudah oleh grup-grup yang baru.

Pengembang Emprak tidak disalahkan untuk melakukan eksplorasi kreatif dan estetik yang meliputi: setting, tata busana dan rias, serta gaya pedhalangan. Teknik-teknik permainan teater modern dapat diterapkan di dalam menopang pengembangan Emprak. Melalui cara ini, Emprak diharapkan dapat hidup dan berkembang selaras zamannya. Perkembangan yang mengarah pada pengenalan Emprak sebagai produk budaya leluhur kepada generasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun