Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surau Tua

24 Maret 2018   08:32 Diperbarui: 24 Maret 2018   08:57 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://4.bp.blogspot.com/-J2AC84CEfIQ/UAzcyrG6rEI/AAAAAAAAANs/gUTjXymTe_E/s1600/imagefromurl.jpeg

MESKI bukan kiai atau sarjana, Abah Musyafie yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang adalah jagonya bila bicara soal agama, pengetahuan umum, dan politik. Sungguhpun begitu, lelaki berumur enampuluhan lebih memilih hidup sebagai tukang sapu surau tua di tepi desa.

Abah Musyafie prihatin atas keadaan surau tua yang ditelantarkan karena jemaah lebih memilih masjid baru di tengah Desa Waringinsungsang sebagai tempat ibadahnya. Dalam hati, Abah Musyafie merasa kalau surau itu senasib dirinya. Selalu dikunjungi semasih megah. Ditinggalkan sesudah tua tak terurus.

Sekian lama Abah Musyafie merenungi nasibnya. Sekian lama Abah Musyafie merenungi nasib surau itu hingga menyatu dan mencintainya. Suatu bangunan kuna yang harus dijaga kesuciannya dari najis, kata jorok, dan perilaku iblis yang amat dibenci Tuhan.

Karena cintanya pada surau tua itu, Abah Musyafie tidak segan-segan menggunakan uang dari penjualan tanah warisan untuk membangunnya. Mengecat dindingnya. Memasang keramik pada lantainya. Mengganti gentingnya. Melengkapinya dengan sepasang loudspeaker. Sejak terbangunnya surau itu, Abah Musyafie tak hanya sebagai tukang sapu. Tapi pula sebagai tukang pengisi padasan dan muadzin.

***

DENGAN suara serak-serak, Abah Musyafie mengumandangkan adzan awal di ambang subuh. Orang-orang Desa Waringinsungsang tersentak manakala mendengar adzan yang digemakan melalui loudspeaker dari arah surau tua itu. Lantaran sudah puluhan tahun, surau itu telah sepi dari jemaah. 

Lewat kabar dari mulut ke mulut, orang-orang Waringinsungsang mengetahui kalau surau tua di tepidesa itu hidup kembali berkat Abah Musyafie. Abah Musyafie berbangga hati. Saat Ramadhan tiba, surau itu kembali diramaikan oleh jamaah. Mengingat masjid baru di tengah desa tidak mampu menampung jumlah jamaah yang selalu membludak di malam Ramadhan pertama.

Pada malam Ramadhan minggu pertama, jamaah yang memenuhi surau tua itu mencapai tiga saf. Pada minggu kedua, jamaah tinggal satu saf. Pada minggu ketiga, jamaah tinggal dua orang. Abah Musyafie, dan seorang lelaki berjenggot putih hingga ke dada yang memerkenalkan dirinya bernama Mbah Haji Bustamie. Salah seorang sesepuh yang dihormati di Desa Waringinsungsang.

"Maaf Mbah Haji, Bustamie!" Abah Musyafie memecah kesunyian di dalam surau tua seusai pelaksanaan salat tarwih. "Apakah setiap tempat suci di desa ini hanya diramaikan para jamaah pada malam Ramadhan minggu pertama?"

"Tak hanya tempat suci di desa ini saja, Abah Musyafie. Hampir seluruh tempat suci di desa-desa lain mulai sepi jamaah sejak malam Ramadhan minggu ketiga. Namun nanti pada minggu terakhir, tempat-tempat suci itu akan kembali diramaikan para jamaah. Mereka ingin mendapatkan anugerah Allah dari malam seribu bulan."

"Oh.... Begitu ya Mbah Haji."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun