MATAHARI jauh berpulang ke sarang malam. Lampu-lampu kristal di taman Argasoka dinyalakan. Taman yang dibangun Rahwana melalui seorang ahli tata taman pilihan dari Alengka itu tampak melampaui Kahyangan Jong Girisaloka. Tempat terhormat bagi dewa-dewi trah Sang Hyang Bhatara Nurasa. Putra Adam yang pernah ditahtakan sebagai raja di Negeri Lemah Dewani.
Taman Argasoka lengang. Tak tampak para juru taman yang sejak fajar hingga ambang senja sibuk dengan pekerjaan. Tak ada prajurit jaga yang selalu lengkap dengan senjata tombak di tangannya. Meski demikian, tak seorangpun yang berani memasuki taman itu. Karena memasukinya berarti mati sia-sia. Menjadi mangsa pasukan Lelepah yang diperbantukan Sang Hyang Bhatari Durga pada Rahwana untuk menjaga Shinta. Istri Rama yang diculik raja Alengka dari Hutan Dandaka beberapa tahun silam.
***
WAKTU melaju tak terkendali. Purnama hampir bersinggasana di titik kulminasi langit. Ribuan bebintang berhamburan mengitarinya. Awan tipis berarak bersama angin yang berhembus dari hulu timur ke hilir barat. Bahasa alam yang mengungkapkan kalau musim hujan telah berganti musim kemarau. Musim yang selalu membekukan udara dari senja hingga fajar. Musim yang selalu menebarkan hawa dingin hingga banyak orang berhasrat menghangatkan tubuh mereka dengan api asmara.
Dari dalam bilik, Trijatha melangkahkan kaki menuju halaman samping joglo di taman Argasoka. Duduk di bangku tepian kolam berpagar batu bata sambil menyaksikan bunga wijayakusama yang tengah mekar berkilauan di bawah purnama. Bagi putri Wibisana, bunga itu bagaikan Shinta. Anggun dan harum jiwanya. Hingga Rahwana yang dibuat mabuk kepayang itu berhasrat memetiknya. Tak peduli apakah ia milik Rama. Tak peduli apakah ia milik dewa dari segala dewa.
Trijatha menghela napas panjang. Wajahnya menyiratkan kepedihan saat mengingat-ingat nasib Shinta. Di mana jiwanya hanya untuk Rama, namun raganya telah dikuasai Rahwana. Penguasa Alengka yang berhasil menjadikan Shinta sebagai seekor kuda di padang kembara asmara. Tepatnya pada malam ulang tahun Shinta, seusai menstruasi.
***
PURNAMA oleng ke barat. Bebintang mengerdip-ngerdipkan doa. Nyanyian serangga serasa pepujian dari sekelompok santri di padepokan jiwa. Pepohonan merunduk seperti tengah menyujudkan kesombongan. Embun yang mulai menetes pada dedaunan hanya menciptakan rasa ngungun.
Dalam diam seribu kata, Trijatha gelisah. Kegelisahan yang serupa kecipak ikan di dalam kolam. Kegelisahan yang mengharu-biru jiwa. Kegelisahan wanita bila merasakan nasib sesama kaumnya. Nasib Shinta yang malang di balik kemolekan paras dan kesintalan tubuhnya. "Apakah ini yang dinamakan keadilan?"
Waktu yang terus merayap tak memberi jawaban atas pertanyaan Trijatha. Pertanyaan klise yang telah mengandung jawaban. Pertanyaan yang menegaskan bahwa di balik keindahan, terdapat ketakindahan. Inilah hukum keseimbangan yang tak dapat ditolak seluruh manusia di muka bumi. Sekelompok wayang yang selalu patuh pada hukum kodrat Ki Dhalang. Kodrat paling brengsek, karena mereka tak mampu mewiradatnya.
***