Betapa pangling aku memandangmu, Ciliwung. Kau tampak bukan gadisku yang dahulu selalu mendayung sampan dari Bekasi hingga Sunda Kelapa. Sungguh dekil tubuhmu! Sungguh lusuh rambut ikalmu! Senasib sekawanan pemulung di tepian sungai. Kian akrab dengan lumpur, sampah, limbah, dan bau bangkai.
Tak terpandang olehku sinar biru di matamu, Ciliwung. Hanya parasmu yang menyimpan dendam di balik beku senyuman. Dendam yang kelak menjadi amuk bah. Menenggelamkan kampung-kampung serupa di zaman Nuh. Sebelum kejayaan Pajajaran kembali timbul. Serupa perahu purba dari dasar samudra.
-Sri Wintala Achmad-