DESA JURANG JANGKUNG
MATAHARI menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung perlahan-lahan tersingkap. Beburung yang berkicauan berloncatan dari dahan ke dahan pepohonan. Kekupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan dedaunan dan rerumputan terasa memberikan kesejukan jiwa.
Langit safir yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jangkung. Desa yang menghampar di lembah dengan dilingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng, dan lainnya. Desa makmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam, bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa sejahtera yang diyakini banyak orang sebagai irisan surga.
Sebagaimana orang-orang yang meladang dengan tubuh dan wajah bermandikan keringat, Centhini masih tegar mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru berumur setengah bulan itu dapat tumbuh kembang dengan baik. Memberikan hasil jagung-jagung segar yang besar. Terbebas dari serangan hama dan ulat.
Di naungan matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug di tepian pematang. Duduk di ambenan gubug itu. Menenggak air yang keluar dari lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dalam diam, Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian menceraikannya sesudah tergoda dengan seorang janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. Anak perempuan semata wayangnya yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya.
Menjelang matahari tepat di titik terpuncak kubah langit, Centhini beranjak dari amben gubug. Dengan perutnya yang mulai keroncongan, ia meniti pematang ladang. Pulang ke rumah. Â Meletakkan cangkul dan kendi di dapur. Membasuh wajah, tangan, dan kaki di sumur. Memasuki ruangan depan. Menyantap secowek nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk gorengan tempe garit. Melepas lelah sambil menikmati secangkir secang gula aren yang dipersiapkan Kinanthi di atas meja kayu.
"Masakanmu sangat lezat, Kinanthi!" Centhini mengipas-ngipaskan salah satu selendang lurik pemberian Tambangraras ke lehernya yang basah karena keringat. "Secang gula aren buatanmu dapat membuat kemepyar. Sungguh bakat masak mendiang nenekmu telah kamu warisi, Ndhuk."
"Apakah Nenek juga pintar masak, Mak?"
"Kalau tidak pintar masak, nenekmu tidak bakalan dipercaya sebagai tukang masak keluarga Ki Bayi Panurta."