Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Terjun Bebas dari Puncak Tower

9 Maret 2018   08:18 Diperbarui: 9 Maret 2018   08:29 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEPERTI dalam mimpi. Rasmin, prajurit Dipanegara yang siuman seusai mati suri di tengah hutan karena kehabisan napas sesudah diburu pasukan Belanda pada dua abad silam itu menyaksikan dunia telah berubah drastis. Hutan berhektar-hektar di mana Rasmin pingsan itu tinggal seluas lapangan bola. Di kiri-kanan hutan itu telah dibangun gedung-gedung perkantoran, hotel-hotel, dan mal-mal bertingkat. Rasmin menggeleng-gelengkan kepala. Tak percaya.

Karena lapar semakin memilin-milin perutnya, Rasmin yang telanjang mirip kaum nudist di pantai-pantai belahan bumi barat itu nekat keluar dari hutan. Berjalan gontai sambil melindungi auratnya dengan kedua telapak tangan. Menyusuri gang-gang senggol di antara gedung-gedung menjulang. Mencari rumahnya untuk meminta pengganjal perut pada keluarganya.

Sungguhpun telah menempuh perjalanan hampir sepuluh kilometer, Rasmin belum menemukan rumahnya. Sudah ratusan orang tak memberi jawaban, saat Rasmin menanyakan rumahnya yang terletak di tepi sungai di bawah pohon ketapang. Ratusan orang yang berjalan serupa robot-robot itu menganggap Rasmin sebagai manusia jadul sebangsa Tarzan atau aktor utama dalam film The God Must Be Crazy. Bukan manusia berotak brilian yang layak mendapat kehormatan sebagaimana para ilmuwan. Orang-orang cerdas yang ingin bersaing dengan Tuhan dalam hal menciptakan keajaiban di dunia.

Di gerbang taman publik, Rasmin menghentikan langkah. Memungut selembar koran lama di tong sampah. Dikenakanlah koran itu sebagai pengganti cawat. Dengan langkah gontai, Rasmin memasuki taman publik. Duduk di bangku taman dengan jembatan kayu yang membentang di atasnya. Saat menyaksikan satu keluarga yang tengah menyantap roti kering, Rasmin merasakan remasan-remasan di perutnya. Namun sebagai mantan pejuang, Rasmin tak ingin meminta belas iba dari mereka. Lebih baik mati kelaparan ketimbang menjadi pengemis.

Sembari terpejam, Rasmin menghirup semilir angin ambang senja untuk meredakan remasan-remasan di perutnya. Ketika mata dibukanya, Rasmin melihat gadis kecil berjalan ke arahnya. Membawa sebungkus roti kering. Memberikan pada Rasmin. "Makanlah roti ini! Tampaknya Kakek sangat lapar."

"Terima kasih, Nak." Rasmin menerima pemberian dari gadis kecil itu dengan tangan gemetar. "Siapa namamu?"

"Icha." Gadis kecil itu memberikan kartu nama pada Rasmin. "Bila Kakek lapar, datanglah ke rumahku."

Rasmin menerima kartu nama dari Icha. Selagi Rasmin yang hanya dapat membaca tulisan beraksara Jawa tengah memelototi tulisan beraksara latin pada kartu nama itu, Icha hengkang dari hadapannya. Bersama ayah dan ibunya, Icha meninggalkan taman publik yang mulai menyala lampu-lampunya.

***

GERIMIS turun dari langit. Bergegas Rasmin meninggalkan taman publik. Menyusuri trotoar. Menyeberangi jalan yang dipadati kendaraaan keluaran terbaru. Menuju emperan restoran. Karena aroma tubuhnya melampaui bau bangkai, Rasmin diusir orang-orang. Tanpa mengeluh, Rasmin meninggalkan tempat itu. Di depan bekas toko yang di pintunya tertulis "DIKONTRAKKAN", Rasmin berhenti. Duduk bersandar tembok. Tanpa alas, Rasmin merebahkan tubuhnya di emperan bangunan itu. Tertidur seusai hujan reda.

Sebelum terbit matahari, Rasmin terbangun. Saat lapar menggerus-gerus perutnya, Rasmin teringat kartu nama Icha. Berkat bantuan polisi, Rasmin ditunjukkan di mana rumah Icha sebagaimana tertulis di kartu nama itu. Menjelang siang, Rasmin menemukan rumah Icha. Rumah berlantai tiga yang berdiri megah di tepi sungai berair coklat. Saat menyaksikan sungai dengan sebongkah batu besar di tengahnya, Rasmin teringat rumahnya. Hingga meyakini, rumah Icha semula rumahnya. Rumah kecil berdinding anyaman kulit bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun