DI DALAM masyarakat Jawa, Sapar dianggap bulan paling tapat untuk melaksanakan upacara tradisi Saparan. Tradisi tersebut tidak hanya diselenggarakan di beberapa wilayah Yogyakarta, seperti di Gamping (Bekakak), Wonolela (Sebaran Apem), atau di Wonokromo (Rebo Pungkasan); melainkan pula di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.
Yaaqawiyyu merupakan upacara tradisi Saparan Sebaran Apem di Jatinom yang cukup menarik apabila ditilik dari nilai kultural, makna spiritual, serta pengemasan performance-nya. Hingga ketiga unsur tersebut menjadi daya dorong bagi masyarakat dengan berlatar belakang kepentingan guna menghadiri upacara tradisi Yaaqawiyyu yang diselenggarakan setahun sekali.
Hari kedua yang merupakan puncak acara Yaaqawiyyu dipusatkan di lembah yang berada di sebelah selatan Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Di lembah yang dibatasi sungai di sebelah selatannya, goa dan Sendang Suran di sebelah timurnya, serta Sendang Klampeyan di sebelah utaranya; para pengunjung mulai berjubelan sejak pagi untuk memerebutkan ribuan kue apem yang dilempar para pengageng dan panitia berseragam santri (sorban, baju warna putih, dan sarung) dari puncak dua menara.
Selepas dluhur, gunungan apem yang diusung dari pendapa rumah R. Soebakdi Soesilowidagdo menuju lembah untuk disebarkan. Ketika disebarkan, kue-kue apem yang berluncuran dari puncak menara menuju permukaan lembah yang dipenuhi ribuan pengunjung itu serupa hujan meteorit. Serupa berkah yang ditaburkan Tuhan dari langit bagi seluruh umat-Nya di bumi.
Nilai dan Makna Yaaqawiyyu
BERSUMBER buku panduan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawiyyu, bahwa Ki Ageng Gribig yang mendapatkan kue apem dari Makkah tersebut tidak cukup dibagikan untuk keluarga dan sanak-saudaranya. Karenanya, Ki Ageng meminta istrinya untuk membuat kue apem agar dibagikan kepada sanak-saudaranya tanpa memandang perbedaan kelas.
Tidak heran kalau dalam perkembangannya hubungan cinta-kasih manusia dengan sesamanya atau seluruh manusia dengan Tuhan disimbolisasikan di dalam Yaaqawiyyu melalui pengiraban sepasang gunungan apem (gunungan lanang berbentuk lingga serta gunungan wadon berbentuk yoni) dari Kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Dikirabkan lantraran pemahaman hubungan cinta-kasih antara gunungan lanang yang bermakna bapa angkasa, jagad ageng, makrokosmis, atau Tuhan dengan gunungan wadonyang berarti ibu pertiwi, jagad alit, mikrokosmis, atau makhluk di bumi layak diwartakan luas kepada seluruh masyarakat.
Melalui hubungan cinta-kasih antar kosmis, maka kelangsungan hidup penuh damai di jagad raya ini dapat terealisasi. Karenanya. Yaaqawiyyu dapat dimaknai sebagai media dakwah Islamiah yang cukup cerdas di dalam memulihkan krisis spiritual manusia. Dinyatakan cerdas, dakwah tersebut tidak perlu disampaikan melalui bahasa oral yang bertele-tela. Melainkan melalui bahasa simbol yang dapat ditangkap oleh setiap manusia dengan akal-budinya.