Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaman Kalabendu

22 Februari 2018   19:44 Diperbarui: 22 Februari 2018   19:45 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DI DALAM Jagad Pakeliran Jawa, terdapat suatu kisah yang terpetik dari Kitab Mahabarata, yakni Seri Bharatayuda. Kisah Seri Bharatayuda yang terbagi menjadi 8 babak (Seta Gugur, Tawur atau Bisma Gugur, Paluhan atau Bogadenta Gugur, Ranjapan atau Abimanyu Gugur, Timpalan atau Burisrawa Gugur, Suluhan atau Gatotkaca Gugur, Karno Tandhing, Rubuhan atau Duryudana Gugur) ini merupakan gubahan Epu Sedah (Kadiri, 1157 M), Yasadipura I (Surakarta), Sri Sultan Hamengkubuwana V (Ngayogyakarta, 29 Oktober 1847 - 30 Juli 1848 M) yang mengisahkan tentang perang besar di Kurusetra. Perang besar yang juga disebut perang suci antara keluarga Pandawa dan Korawa (keturunan Bharata).

Selain Seri Bharatayuda, Jagad Pakeliran Jawa juga mengisahkan tentang perang besar lainnya, seperti: pertama, perang besar antara Kerajaan Astina dan Kerajaan Pringgadani yang dikisahkan dalam lakon Gandamana Luweng. Perang yang terjadi karena ulah licik Harya Suman (Sengkuni, Tri Gantalpati), yang berhasrat menjadi mahapatih di Astina tersebut berakhir membawa korban jiwa. Tidak hanya tewasnya para prajurit rucah, namun pula gugurnya Prabu Tremboko (raja Pringgadani) di tangan prabu Pandu Dewanata (raja Astina). Tidak hanya lengsernya Gandamana dari jabatan patih, namun pula tewasnya sang istri Dewi Hastian yang bunuh diri lantaran akan diperkosa oleh Harya Suman.

Kedua,perang besar antara Kerajaan Mandura lan Kerajaan Trajutrisna yang dikisahkan dalam lakon Samba Sebit. Perang besar yang menyebabkan gugurnya Prabu Basudewa, Prabu Bismaka, Prabu Setyajid (senopati Mandura) sarta Patih Pancatnyata (Senopati Trajutrisna) ini lantaran kata-kata berbisa dari Togog. Hingga akhirnya, Sitija sampai hati membunuh Samba yang berselingkuh dengan Dewi Hagnyanawati dengan cara dimutilasi. Sesudah Samba tewas, Sitija juga meninggal di tangan Kresna melalui kekuasaan Anjang-Anjang Kencana.

Kalau dicermati dengan seksama, terjadinya perang besar yang disebut di muka tidak dapat dilepaskan dengan manisnya kata-kata berbisa dari mulut Sengkuni (Seri Bharatayuda dan Gandamana Luweng) atau dari mulut Togog (Samba Sebit). Dua tokoh dalam Jagad Pakeliran Jawa yang hidupnya sekadar memburu kedudukan, harta, dan benda; sekalipun harus ditempuh dengan mengkhalalkan segala cara. Memfitnah, mengadu domba antara satu dengan lainnya, nabok nyilih tangan (menjatuhkan seseorang melalui orang lain), atau suka memberikan laporan palsu pada pimpinan atau sesamanya.

Sapa Gawe Nganggo

SEMULA Sengkuni berwajah tampan. Namun karena memiliki sifat jahat, Patih Gandamana yang selamat sesudah dikubur hidup-hidup itu kemudian mencabik-cabik tubuh Sengkuni. Akibatnya mulut dan wajah Sengkuni menjadi hancur berantakan. Sekalipun sudah cacat tubuhnya, sifat jahat Sengkuni tidak mereda. Karenanya sesudah ingin menjabat sebagai raja, Sengkuni kemudian mengadu domba keturunan Bharata melalui perkataan manis pada Prabu Doryudana agar mempertahankan bumi Astina dari tuntutan Pandhawa. Namun sesudah terjadinya Bharatayuda, hukum sapa gawe nganggo(Siapa berbuat akan menanggung akibatnya) menimpa Sengkuni. Akibatnya, Sengkuni tewas di Kurusetra sesudah lubang mulut dan pantatnya ditusuk Bima dengan kuku Pancanaka.

Sebagaimana Sengkuni, Togog semula pula memiliki wajah yang tampan, Ketika masih tinggal di kahyangan, Togog yang bernama Sang Hyang Antaga (putra sulung Sang Hyang Tunggal) itu memiliki tujuan dapat menjadi raja Jong Giri Saloka. Karena sifat jahatnya, Togog yang gagal melaksanakan sayembara dari Sang Hyang Tunggal, yakni menelan Gunung Jamurdipa berakhir mulut dan tubuhnya menjadi rusak tak karuan. Kedua matanya seperti mata raksasa. Mulutnya seperti paruh angsa. Selain itu, Togog pun kemudian diusir dari kayangan. Turun di tanah seberang (luar Jawa). Menjadi abdi raja-raja berwatak jahat yang hanya memburu harta dan benda.

Perlu Kewaspadaan

RADEN NGABEHI Ranggawarsita telah menyebutkan melalui Serat Kalabendu, bahwa salah satu tanda datangnya Zaman Kalabendu, yakni ketika ada kisah seorang dhalang yang membelakangi kelir (provokator silumunan yang tak dapat ditangkap dengan mata wadag). Bila dicermati dengan seksama, tanda tersebut tidak dapat dilepaskan dengan munculnya tokoh-totoh berwatak Sengkuni dan Togog. Para provokataor siluman yang selalu membuat onar di mana-mana.

 Karenanya setiap manusia yang ingin selamat dari cobaan Zaman Kalabendu harus selalu waspada. Jangan mudah terkena bujuk rayu yang penuh bisa. Jangan mudah tergoda dengan harta, benda, dan kedudukan yang akan menjerumuskan ke jurang kesengsaraan. Mengingat Sengkuni dan Togog memiliki sifat lembut yang melampui sifat siluman. Tak bisa ditangkap dengan mata lahir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun