Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Koran dan Pengembangan Sastra di Indonesia

20 Februari 2018   08:26 Diperbarui: 20 Februari 2018   10:45 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: library.unsw.edu.au

Kiranya disyukuri, karena karya sastra masih mendapat peluang pemublikasiannya oleh banyak media massa (baca: koran) terbitan Indonesia. Tidak hanya koran berkelas lokal (daerah), namun juga yang berkelas nasional semisal Kompas. Hal ini menandakan bahwa para sastrawan masih memiliki ruang ekspresi kreatifnya.

Berkat peran koran, karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan dapat hadir di ruang apresiasi publik pada hari Jumat atau Minggu. Meskipun diakui bahwa apresian sastra di Indonesia masih dapat dibilang sangat sedikit jumlahnya. Asumsi ini berdasarkan realitas, di mana karya apresiasi (kritik) sastra jarang hadir di lembar budaya. Sehingga image yang muncul, sastra Indonesia tumbuh tanpa siraman air dan taburan rabuk.

Realitas buruk atas kurangnya apresiasi (kritik) sastra di Indonesia merupakan suatu keprihatinan tersendiri. Namun keprihatinan tersebut belum teratasi, melainkan justru semakin diperumit dengan sikap sebagian besar sastrawan yang seolah tidak peduli terhadap realitas dengan kurang adanya apresiasi (kritik) sastra. Mengingat mereka yang berkarya di era industri sastra cenderung berorientasi pada honorarium ketimbang apresiasi (kritik) karya yang dipublikasikan oleh koran tertentu.

Apabila persoalan tersebut dikemukaan di forum-forum terbuka, maka pembelaan pun muncul dari kedua belah pihak. Pihak apresian (kritikus) berdalih, bahwa kurang adanya apresiasi (kritik) sastra dikarenakan karya sastra yang dimuat di koran kurang menunjukkan kualitasnya. Disebabkan karya sastra yang merefleksikan produk industri tersebut sungguh terkesan diarahkan oleh penciptanya sekadar memenuhi kebutuhan ekonominya. Alhasil apresiasi (kritik) sastra dianggap tidak begitu penting.

Sementara, pembelaan dari para sastrawan bahwa menurunnya kualitas karya sastra yang diklaim karena kreatornya sudah terjebak ke dunia industri sastra adalah suatu kewajaran. Mengingat para satrawan yang tidak mendapatkan tunjangan biaya hidup baik dari pihak pemerintah maupun lembaga non pemerintah niscaya memiliki sedikit waktu guna melakukan eksplorasi kreatifnya. Sehingga waktu mereka lebih banyak dibelanjakan untuk melakukan aktivitas non-sastra yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonominya.

Pembelaan lain dari para sastrawan, bahwa mencipta karya sastra di era industri sastra yang berpengaruh besar pada dunia perbisnisan koran tidak perlu menjaga kualitas. Mengingat banyak editor sastra cenderung melihat nama besar kreator ketimbang kualitas karyanya. Sehingga karya dari para sastrawan yang namanya layak dijual kepada publik mendapatkan peluang besar untuk dipublikasikan.

Pembelaan baik dari apresian maupun sastrawan selayaknya tidak diklaim sebagai sikap mencari kebenaran sepihak, melainkan menjadi bahan permenungan bagi industri koran. Tentu saja permenungan tersebut mengarah pada tindakan arif di dalam pemublikasian karya sastra yang berpijak pada kesadaran di dalam turut menumbuhkembangkan kualitas karya sastra.

Adapun tindakan arif yang harus diambil oleh pihak industri koran, yakni: menentukan editor yang memahami peta, serta cukup memiliki pengetahuan perihal kerja apresiasi (kritik) terhadap karya sastra. Di samping itu, editor tidak sekadar memublikasikan karya sastra dari para sastrawan ternama atau kroni-kroninya.

Tindakan lain yang musti diambil oleh editor, yakni untuk senantiasa memunculkan karya sastra yang sekadar bukan dari para sastrawan lokal. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya interaksi kreatif antar sastrawan yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Interaksi kreatif yang berprospek pada pemupukan spirit nasionalisme, bukan sekadar romantisme lokalitas.

Untuk memudahkan apresiasi publik terhadap karya sastra, maka setiap editor berhak memberikan catatan apresiatif atas karya yang dipublikasikannya. Di samping, catatan apresiatif tersebut akan menunjukkan seberapa tingkat kredibilitas editor yang ditentukan oleh pihak industri koran.

Apa yang telah diuraikan di muka seyogianya tidak ditangkap guna mencari kambing hitam di tengah ketidaksehatan kehidupan sastra. Namun, catatan ini hendaklah dipahami untuk memerlurus peran koran di dalam upaya menumbuh-kembangkan kehidupan sastra baik di tingkat lokal maupun nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun