Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Edukatif Pak Katno lewat "Lelagon Dolanan"

15 Februari 2018   00:04 Diperbarui: 15 Februari 2018   02:15 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak listrik hingga televisi masuk desa, banyak anak menghabiskan waktunya di ruang keluarga. Menyaksikan televisi sesudah pulang sekolah, habis makan malam, atau ketika hari libur. Mereka mulai jarang mengisi waktu luangnya untuk bermain sambil menyanyikan lelagon dolanan bocah. Mereka tidak lagi menyanyikan lelagon Lepetan, Jamuran, Jamur Cepaki, Jaranan, Widara Kayun, Gajah-Gajah, dll sambil bermain saat malam purnama.

Fakta menunjukkan bahwa pada era televisi, terlebih era smartphone atau tablet, banyak anak tidak mampu menjawab spontan bila ditanya mengenai macam dolanan atau lelagon dolanan bocah yang pernah dimainkan atau dinyanyikan oleh kedua orang tua (kakek-nenek) mereka di masa silam. Banyak anak mulai (sudah) tidak mengenal budaya dan seni tradisi warisan leluhurnya sendiri yang sarat dengan pesan-pesan edukatif.

Perihal anak-anak yang tidak mengenal lagi tentang budaya tradisi warisan leluhurnya merupakan keprihatinan tersendiri. Namun hal itu sering dimafumi oleh kebanyakan orang Jawa sendiri dengan ungkapan, "Nut jaman kelakone." Perkembangan zaman niscaya mengikis budaya lama dengan arus budaya baru yang berkedok modern (Barat).           

Sungguhpun banyak orang memafumi, namun keprihatinan tentang anak-anak yang tidak mengenal budaya leluhurnya harus disikapi dengan langkah-langkah konkret. Salah satunya mengenalkan kembali macam dolanan bocah, khususnya lelagon dolanan bocah, kepada anak-anak melalui jalur pendidikan formal. Selain itu, pesan-pesan edukatif yang terkandung pada syair lelagon dolanan bocah pula harus diperkenalkan. Sehingga anak-anak bukan sekadar fasih melantunkan lelagon dolanan bocah, namun dapat menerapkan pesan-pesan edukatifnya dalam kehidupan keseharian.

Lelagon Dolanan Bocah dan Pak Katno

Bila berbicara mengenai lelagon dolanan bocah, niscaya mengingatkan pada Pak Katno (Hadi Sukatno). Seorang kreator lelagon dolanan bocah kelahiran Delanggu (Klaten) 26 Mei 1915 dan meninggal di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1983. Seorang seniman yang pernah ditempa di lingkungan perguruan tinggi Taman Siswa Yogyakarta.

Sebagai kreator lelagon dolanan bocah, Pak Katno tidak diragukan lagi. Di atas duapuluh karya tembang dolanan bocah yang direkam dalam bentuk kaset, VCD, atau DVD dengan melibatkan anak-anak sebagai vokalis itu telah diciptakannya. Karya-karyanya, antara lain: Anti, Ajar Maca, Aku Wis Sekolah, Bang Bang Wis Rahina, Bibis, Bocah Nakal, Gajah-Gajah, Iwake Sliweran, Jamur Cepaki, Jaranan, Kae-Kae, Kembang Jagung, Kula Boten Dora, Lepetan, Mbok Uwi, Pitik Walik, Sarsur, Widara Kayun, Yo Padha Suka-Suka, dll.  

Dalam perkembangannya, tidak semua karya Pak Katno dikenal masyarakat luas. Pengertian lain, masyarakat hanya mengenal beberapa karya, terutama yang pernah diaransemen ulang oleh kelompok kerawitan atau  kesenian lain, semisal: Jaranan (Saraswati, seni jaranan Kuda Manggala Tulung Agung);  Bang Bang Wis Rahina (Saraswati, Kyai Kanjeng); Aku Wis Sekolah (seni reyog kendang atau seni jaranan Kuda Manggala Tulungagung).

Sungguhpun tidak semua karya dikenal masyarakat luas, namun peran Pak Katno dalam upaya memerkenalkan salah satu budaya tradisi Jawa serta memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak-anak melalui lelagon dolanan bocah layak mendapatkan apresiasi. Sehingga tidak heran, kalau Pak Katno mendapatkan penghargaan seni dari pemerintah pada tanggal 6 April 1981.

Pesan-Pesan Edukatif

Lelagon dolanan bocah karya Pak Katno tidak hanya bersifat rekreatif bila disimak dan dinyanyikan, namun pula mengandung pesan-pesan edukatif bila diresapi maknanya. Sebagai misal karya Bang Bang Wis Rahina dan Gumregah mengajarkan kepada anak-anak untuk bergegas mandi dan menyelesaikan pekerjaan sesudah bangun pagi hari. Sesudah semua pekerjaan diselesaikan, anak-anak bisa bermain Brok-Brokan, Jethungan, atau Jamuran bersama kawan-kawan sebayanya. Pesan edukatif ini disampaikan dalam karya Yo Padha Suka-Suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun