DIKATAKAN mimpi, tetapi di alam nyata. Dikatan nyata, namun serasa di dunia mimpi. Bagaimana tidak? Sewaktu tersesat di suatu perkampungan di wilayah Kalurahan Nguditentrem, aku menyaksikan seluruh orang yang merangkak seperti serigala. Kedua mata mereka menyala bara serupa mata iblis. Lidah mereka menjulur-julur berliur menjijikkan. Bila marah, mereka meraung-raung. Mencakar-cakar tubuhnya sendiri hingga berdarah.
Semakin aku dibuat terheran-heran. Saat mengetahui, kalau orang-orang serigala itu tidak memakan nasi, sayur, dan buah. Mereka memakan besi, kaca, dan plastik. Terkadang mereka memakan sampah dan kotoran yang keluar dari duburnya sendiri. Lebih menyeramkan, mereka memakan bayi yang baru dilahirkan istrinya. Sungguh! Ini perkampungan iblis yang belum pernah diberitakan televisi dan koran. Diunggah oleh pengguna twitter atau facebook.
Sejak menyerupai sarang iblis, kampung yang kemudian dikenal dengan Kampung Serigala itu terisolir dari kampung-kampung lainnya. Hanya orang-orang bernyali besar yang nekad datang ke kampung itu. Bukan sekadar melihat ketandusan sawah dan ladangnya hingga tidak dapat ditanamai padi, ketela, jagung, sayuran, dan buah-buahan; namun pula seluruh penghuninya.
Lambat laun, persediaan makanan di Kampung Serigala ludas tidak tersisa. Karenanya, orang-orang serigala mulai nekad mengadu nasib di kampung-kampung sekitarnya. Mengais-ngais gunungan sampah untuk mencari besi, kaca, dan plastik. Dengan membabi buta, mereka mencuri bayi-bayi yang baru dilahirkan ibunya untuk diglagag sendiri.
Menanggapi laporanku tentang petaka yang melanda kampung-kampung lain di Nguditentrem, Lurah Dulkemit bergegas bertindak. Mengerahkan seluruh anggota Hanra dan Hansip untuk menghabisi orang-orang serigala yang berkeliaran di wilayah kelurahan itu. Sebagai warga yang terbilang baru, aku turut membantu menyukseskan misi itu. Meskipun harus bertaruh nyawa. Mengingat mereka lebih berbahaya dari harimau, singa, atau buaya liar.
Pada malam bulan penuh, aku mendapatkan giliran jaga di poskamling. Ditemani Kiai Miswan, Kontet, Panjul, dan Gondes; aku menjadi tidak gentar untuk menghadapi bahaya yang kemungkinan muncul malam itu. Terlebih kampak, linggis, dan pedang tidak jauh dari jangkauan.
"Sesungguhnya aku tidak tega membunuh orang-orang serigala itu!" Kiai Miswan memecah suasana senyap. "Seharusnya kita mendoakan, agar mereka dapat terbebas dari kutukan. Kampung Serigala kembali menjadi sejahtera. Sawah dan ladang mereka dapat kembali ditanam padi, jagung, ketela, sayuran, dan buah-buahan. Hingga mereka tidak lagi memakan besi, kaca, dan plastik. Hingga mereka tidak lagi memakan bayi. "
"Kenapa mereka kena kutukan, Kiai?" Aku semakin penasaran. "Kenapa kampung mereka bertanah tandus?"
"Semula Kampung Serigala dikenal dengan nama Kampung Ngudimakmur. Karena kemakmurannya, orang-orang di sana terninabobokan. Mereka tidak menjaga sawah dan ladang mereka yang subur. Sebaliknya, mereka memanfaatkan hasil bumi yang berlimpah untuk ditukar dengan uang. Uang itu, mereka tukar dengan kenikmatan dunia. Bermain perempuan hingga banyak anak kharam dilahirkan. Mabuk tuak. Ngibing dengan sindhen tayup. Bersabung jago. Berjudi kartu, dadu, dan rolet."
"Sungguh sangat kasihan orang-orang itu."