Mohon tunggu...
Achmad Daenuri
Achmad Daenuri Mohon Tunggu... Guru - peneliti

Peneliti dan Ketua di lembaga Peneliti dan Pegiat Pendidikan Pacasila dan Kewarganegaraan (P4Kn), dan Founder dari Royal advocate Foundation, lembaga yang mendedikasikan diri untuk pembelaan terhadap kejahatan penghilangan dan pembunuhan karakter para tokoh dalam sejarah oleh rezim penguasa dari jaman ke jaman.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ikatan Cinta Demokrasi Indonesia, Sebuah Harapan dari Pemilih Milenial

27 April 2021   04:53 Diperbarui: 27 April 2021   04:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam beberapa dekade, demokrasi adalah impian bagi tatanan dunia baru. Amerika sebagai simbol demokrasi talah menunjukan bagaimanana dalam kebebasannya bisa mencapai sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah mahakarya yang besar bisa di dicapai dengan lebih baik dalam alam demokrasi. Einstein menyelesaikan magnum opusnya di amerika, kosmonot unisoviet memang yang pertama ke luar angkasa tapi apolo 11 lah yg sampai ke bulan. semua itu menyatakan bahwa semua karya manusia akan sampai sempurna bila lingkungannya beralam demokrasi.

 Semua Itu belum seberapa, bila kita bandingkan di bidang industri yang lain. Holywood akan menampilkan film yang fantastis baik dari segi sinematografi , semua itu tak lepas dari kebabasan berfikir khas demokrasi. Dibandingkan negara negara yang komunal atau negara yang kekuasaan nya absolut, semua harus punya pakem yang mengharuskan semua karya searah dengan visi misi penguasa, salah salah bisa berakakhir dengan boikot atau  jeruji besi.

Namun seiring waktu, apa yang dijanjikan demokrasi itu tidak sepenuhnya benar. Para pengikut amercan dreams itu tidak bisa menjamin kesejahtraan menyeluruh warganya, bahkan di amerika sendiri.  Dewasa ini tindakan yang menunjukan kemunduran dari asas kebebasan merjallela di amerika.  Apartheid klu klu klan makin subur, kejahatan sosial dan ras anti Asia, kerusuhan dalam pemilu dan pengrusakan kantot senat terjadi di sana, kapitalisme menunjukan taringnya segabai penentu para senator dan presiden.

Ketika masyrakat demokrasi amerika harus berkontrak sosial dengan Trump, dinegara negara lain yang menganut demokrasi tidak berkutik dengan pilihan pilihan para cukong,  pesta demokrasi kemudian tidak unytuk memilih mereka yg kompeten, aturan dan syarat berganti dengan siapa yg bisa membeli suara rakyat.

Suara rakyat suara Tuhan

Demikianlah demokrasi kemudian menjadi semacam kemunafikan, one man one vote dalam negara yg berpenduduk jutaan hampir pasti tidak signifikan lagi suara menemukan mayoritasnya. Padahal selogan demokrasi adalah suara rakyat suara Tuhan, bagaimana kedudukannya bila suara Tuhan hanya beda tipis dengan suara selain Tuhan hanya 50+1 suara saja.

Suara Tuhan di era globalisasi ini tentu saja tidak bisa dilegitimasi lagi sebagai suara mayoritas, di indonesia beberapa suara cebong kemudian mendominasi tapi tenfu saja suara kampret justru berbau religius.Suara Tuhan suara mayoritas menjadi pertanyaan, di duga sebagai sebuah desain dan konspirasi elit global, agenda zion atau iluminati.

Lalu bagaimana dengan istilah sekarang, suara netizen selalu benar, beberapa kali suara mayoritas netizen telah menjadi mukjizat bgi seseorang yang terzolimi, berkat dan keberuntungan, menjadi karma bagi si pansos. Menurut saya suara Nertizen seperti eye can see everithing, meski melihat segala sesuatu tapi dengan satu mata. Hoax dan drama setingan lebih mendominasi. Ini tentu saja suara mayoritas bisa saja suara Tuhan Palsu.

Sulit sekali membedakan apakah suara demokrasi mayoritas ini suara Tuhan atau suara by Desain. Kemerdekaan indonesia 74 tahun lalu di tulis dalam memorabilia para pendiri bangsa sebagai atas Berkat Tuhan Yang Maha esa serta keinginan luhur rakyat Indonesia. Ini mengambarkan betapa besarnya dan ajaibnya  suara rakyat yang ingin kemerdekaan waktu itu , sehingga di abadikan sebagai berkat rahmat Allah. Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah demam PKI tahun 65 yg tiba tiba menjadi laknat selama 32 tahun  pemeri tahan orde baru. Apakah itu suara Tuhan juga hanya karena suara mayoritas juga?.

Jokowi sedikit banyak pun begitu, ketika bersaing baik di jakarta maupun sebagai presiden, demam kemeja kotak kotak itu masih kuat. Suara gaib tak masuk akal ini kadang diterima bulat bulat oleh mayarakat sebagai suara Tuhan. Demam ikatan cinta andin aldebaran sekarang ini apakah itu juga suara Tuhan, bagimana dengan  demam kolosal monstera variegata, beberapa tahun kebelakang rakyat begitu kuatnya  tertarik dengan batu akik, tersedot gelombang cinta  anthurum, laki perempuan tiba tiba menyukai ikan cupang. Begitukah kita berdemokrasi? Dengan cara itukah kita memilih dan menentukan para pemimpin bangsa?

Negara akhir jaman adalah Tanah liat bercampur besi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun