Sadar atau tidak, fanatisme membuat mata kita tidak berfungsi secara adil. Menutupi kotoran yang bercecer di atas lantai rumah sendiri, sekaligus menutupi kegagahan rumah orang lain.
Fanatisme, tanpa kita sadari kita terjebak dalam lingkaran ini. Terseret oleh dogma motivasi romantis. Kenyal. Nikmat. Empuk. Dikunyah tak membuat gigi-gigi sambat. Penyakit dalam siapa tahu.
Mari kita intip diri kita, Kawan. Kita diperbudak fanatisme. Kau fanatik pada organisasimu, aku pun begitu. Kita sama-sama lempar isu, perlahan-lahan ikatan batin kita saling menjauh. Aku selalu berusaha mencari-cari durimu. Kau pun begitu. kita pun sama, dibentuk menjadi pribadi yang asu, angkuh.
Berarti organisasi bedebah, dong? Apa sebaiknya kita jauhi saja? Saya kira kitalah yang bedebah. Organisasi hanyalah sebuah benda mati, kitalah yang memberinya nyawa. Apakah kita menghidupinya dengan lapang hati, atau justru dengan saling tabur-tanam benci?
Entah aku mengigau atau tidak, kulihat orang-orang suka sekali dengan kata bebas. Merdeka. Tak terkekang. Pertanda jika suka kebebasan, tak logis sekali jika masih diborgol kefanatismean. Sebab orang bebas dan merdeka gerbang pikirannya terbuka, lebar. Pandangannya luas. Di taman sana estetik sekali tempatnya, view-nya menakjubkan. Alangkah beruntungnya jika di tamanku juga seperti itu?
Kebebasan mengajak kita berkembang, bukan? Bukan malah saling merasa paling benar dan menjatuhkan.Â
Bukankah ngoten, Gus Mahbub?
