Mohon tunggu...
Achmad Abdul Arifin
Achmad Abdul Arifin Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Institut Agama Islam Az Zaytun Indonesia

Cerdas, Bijaksana dan Inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Majunya Gibran Tanda Demokrasi di Indonesia Belum Matang

18 Juli 2020   06:30 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:03 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: merdeka.com

Jujur saya terkekeh ketika mengetahui kabar bahwa putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mendapat rekomendasi dari DPP PDIP untuk melaju ke Pilkada Walikota Solo 2020. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan majunya pengusaha muda ini. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berpolitik di Indonesia, tak terkecuali dengan anak presiden yang masih menjabat.

Tapi yang menjadi perhatian publik ialah, kenapa harus Gibran? Bukankah Solo adalah kandang banteng yang terkenal sangat demokratis? Apalagi nama partai-nya saja "Demokrasi". Bahkan kemudian PDIP sebagai partai terbesar saat ini merupakan representasi kehidupan demokrasi di Indonesia. Yang seharusnya didalamnya terdapat berbagai konsolidasi dan kaderisasi di setiap partai politik. Karena di sila ke-4 Pancasila jelas menekankan "Permusyawaratan". Jadi tidak semena-mena asal tunjuk calon, tanpa adanya prosedur kepartaian yang sehat.

Perlu diketahui bahwa Gibran melanggeng sebagai calon walikota atas lobi-lobinya ke DPD PDIP Jateng dan DPP PDIP Pusat. Jadi sampai detik pengumuman rekomendasi calon walikota dari DPP tersebut, belum sedikitpun Gibran mendapat restu dari DPC PDIP Kota Solo sendiri. Karena sejak berbulan-bulan yang lalu DPC telah mengusung Pak Ahmat Purnomo untuk menjadi calon walikota. Aduhh hyuung, ini gimana sih.

Peran Opinion Leader

Seorang opinion leader, dalam hal ini ialah Ibu Megawati, sudah sewajarnya menjadi panutan bagi setiap pengikutnya. Tapi menurut saya itu kurang cocok diimplementasikan dalam ajang kompetisi sekaliber penjaringan dan seleksi calon pejabat public. Karena itu kurang fair dan kurang adil. Saya lebih menghargai jika opinion leader di pusat, menginstruksikan kepada pimpinan daerah untuk leluasa melakukan penjaringan dan seleksi calon. Karena mau dilihat dari sisi manapun, daerah lebih mengetahui kapasitas kader-nya secara komprehensif.

Jangan hanya karena tingkat popularitas nama seseorang menjadi factor utama pemilihan calon. Apalagi berada dibawah bayang-bayang nama besar ayahnya yang seorang presiden. Ya kalau dia mempunyai track record politik yang cukup, lhah kalau tiba-tiba muncul dari kerak bumi seperti ini gimana dong? Duh deek dek. Saya yakin pasti nantinya banyak kebijakan yang menuai kritik karena ketidak matangannya, yang tidak lain dan tidak bukan dikomandoi oleh orang yang belum matang juga.

Karena kita berbicara daerah, seharusnya opinion leader di daerah, yakni Pak FX Hadi, mempunyai peran yang signifikan dalam hal pencalonan ini. Kalau Solo masih menjunjung tinggi semangat demokrasi, seharusnya bisa melakukan konsolidasi yang lebih kepada DPP supaya yakin bahwa pilihan oleh DPC Solo inilah yang terbaik untuk masyarakat Solo. "Legowo" itu pilihan terakhir. Bahwa kemudian setiap kader harus patuh terhadap putusan DPP, iya tentu. Tapi kalau kader di daerah tidak sreek dengan calon tersebut, bahkan tidak kenal dengan orang tersebut "Ihh ini orang siapa sihh. Kenal nggak, pernah ngeliat di rapat kerja juga nggak, eh tiba-tiba jadi calon walikota" gimana dong?

Jurus Aji Mumpung

Ada dua mumpung-nya disini, mumpung Solo masih jadi kandang Banteng dan mumpung Bapakku masih jadi Presiden. Kalau dilihat dari sisi ini, maju pilkada dengan tutup mata bahkan tanpa kampanye sama sekalipun bisa menang broo. Double kill!! (Anak2 Mobile Legend).

Solo memang menjadi basis suara PDIP paling fanatic selama ini. Saking fanatiknya, saya pernah melihat tukang parkir di Solo mempunyai tattoo logo PDIP di dahi-nya. Wkwkwkw. Saya pasti tertawa kalau ingat itu. Suara PDIP di Solo ibarat sebuah sumber air yang begitu melimpah, tinggal ambil aja donggs tidak perlu risau kehabisan stok. Kalau faktanya begitu, calon dengan tanpa nama popular-pun harusnya menang dengan mudah donggs. Kenapa mencalonkan seorang yang hanya punya popularitas dan tidak punya track record politik? Jabatan public itu bukan panggung entertain!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun