Mohon tunggu...
Achmad Hid. Alsair
Achmad Hid. Alsair Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa semester akhir, #GGMU @Man_Utd, ISFJ, hobi baca buku bertema sejarah, jatuh cinta dengan sastra dan gemar diskusi isu-isu internasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masalah Rohingya di Myanmar : Siapa Harus Turun Tangan Dulu?

27 November 2015   04:53 Diperbarui: 27 November 2015   07:07 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ratusan pengungsi Rohingya harus berdesak-desakan di perahu yang kondisinya tidak layak seperti ini untuk lari dari negaranya. (EPA/BBC))"][/caption]Beberapa minggu yang lalu, dosen memberikan kami sebuah isu yang harus didiskusikan dengan kelompok yang dibentuk mengenai suatu hal yang agaknya bisa mengetuk rasa iba dan kemanusiaan orang-orang yang mengetahuinya: perlakuan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya. Diskusi berjalan dinamis (kalau tak mau dibilang sengit) karena setiap orang punya pendapat dan dasar yang berbeda. Tulisan ini merupakan hasil pemikiran saya selama diskusi itu, baik yang ada di kepala maupun yang sempat saya utarakan ke teman kelompok. Tulisan ini bukan mengajak untuk menghentikan hal tersebut, tetapi mencoba menyadarkan bahwa meminta bantuan internasional menghentikan masalah diskriminasi etnis Rohingya bukanlah hal yang mudah sama sekali.

Rohingya adalah etnis muslim minoritas di Myanmar yang banyak menetap di wilayah provinsi Arakan. Pada awalnya, etnis Rohingya merupakan imigran Timur Tengah yang menetap di daerah Arakan sebagai akibat dari aktivitas perdagangan negara-negara Arab ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke 16 hingga 17. Namun, wilayah Arakan sendiri tidak termasuk dalam wilayah administratif manapun hingga pada tahun 1785, Myanmar menguasainya sehingga berada di bawah pemerintahan administratif Myanmar.

Namun, walaupun Arakan menjadi wilayah Myanmar, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Hal ini yang menyebabkan represi dan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang Rohingya secara terus menerus dari kelompok etnis non-muslim. Mulai dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh etnis lain (konflik horizontal), perlakuan kasar dari tentara pemerintah, dipersulit dalam memperoleh hal-hal yang harusnya mereka dapatkan (pendidikan, eknonomi, berkeluarga, dan lain-lain), hingga tidak punya kewarganegaraan. Perlakuan diskriminatif tersebut ibaratnya hanya menunggu bom waktu meledak, dimana konflik etnis membesar dan meluas. Dan hal itu terjadi pada 2012 silam, dimana 140 orang warga Rohingya tewas dan 110 ribu lainnya harus mengungsi keluar karena meletusnya konflik horizontal akibat kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Buddha oleh tiga orang etnis Rohingya.

Kecaman pun datang dari berbagai belahan dunia, menyamakan kerusuhan tersebut dengan genosida Yahudi yang dilakukan Nazi Jerman di era Perang Dunia II lalu. Rasa simpati keluar dari para pemimpin dunia sebagai bentuk keprihatinan dan juga kecaman terhadap pemerintah Myanmar yang seolah melakukan pembiaran terhadap hal ini. Dan di PBB, masalah ini kemudian menjadi isu utama sebab hal ini berhubungan dengan penegakan HAM. Aktivis-aktivis kemanusiaan pun meminta kepada PBB (khususnya kepada Dewan Keamanan) agar melakukan intervensi kemanusiaan untuk menghentikan masalah tersebut. Namun apa yang terjadi? Kecaman dan rasa simpati lewat bagaikan angin, tidak ada resolusi yang dikeluarkan PBB untuk menghukum pemerintahan junta militer Myanmar, dan etnis Rohingya tetap saja mendapatkan perlakuan diskriminatif baik dari pemerintah atau etnis lain hingga sekarang.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Saya sendiri meyakini untuk melihat sebuah isu kita harus tahu hal-hal detail dari isu tersebut agar bisa dilihat gambaran besarnya. Dan dalam masalah etnis Rohingya ini, mari menengok apa yang disebut sebagai “konstelasi politik internasional”. Siapa yang harus menghentikan masalah Rohingya ini? Siapa yang harus turun tangan dulu? Mari kita bahas satu persatu.

1. ASEAN

ASEAN adalah organisasi regional di Asia Tenggara dimana Myanmar juga menjadi salah satu anggotanya. Salah satu agenda ASEAN adalah menyebarkan demokrasi ke negara-negara Asia Tenggara sebagai bagian dari semangat ASEAN. Myanmar yang sudah puluhan tahun dikuasai junta militer diharapkan bisa menjadi negara demokrasi, dan pada Pemilu baru-baru ini Partai NLD menang suara mayoritas yang berarti angin demokrasi sudah bertiup. Diharapkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi HAM bisa membuat masalah Rohingya teratasi. Kembali ke ASEAN tadi, ingatkah Anda bahwa salah satu prinsip ASEAN adalah tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN lain? Atau bahasa kasarnya, urus saja urusan masing-masing lah. Tidak heran sejak mencuat tahun 2012, masalah Rohingya ini tidak pernah dibahas di KTT ASEAN, hanya berputar-putar pada draft pembahasan di dalam laci-laci meja delegasi. Semakin mustahil jika dipindahkan dalam konteks penyelesaian secara militer.

Negara Asia Tenggara yang bertindak sendiri? Idealnya begitu, tapi tahukah Anda bahwa negara-negara yang ngotot agar masalah Rohingya dibahas di KTT ASEAN (Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina) adalah negara yang menjadi tujuan para manusia perahu etnis Rohingya? Bisa jadi ini menyiratkan keengganan negara-negara tersebut untuk menampung lagi para pengungsi Rohingya. Bagaimana dengan Indonesia (yang juga merupakan negara tujuan pengungsi Rohingya)? Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden Indonesia yang baru diharapkan membuat Indonesia lebih vokal di forum ASEAN mengenai nasib etnis Rohingya. Namun pada KTT ASEAN di Naypyitaw, Myanmar, bulan November tahun lalu, wacana yang digemborkan Indonesia untuk membahas masalah Rohingya menguap begitu saja. Semoga ini tidak berhubungan dengan investasi Indonesia di Myanmar yang tersebar di berbagai bidang dengan jumlah US$241,5 juta dan diperkirakan akan terus bertambah.

2. Amerika Serikat

Nama negara ini pasti akan muncul setelah kita memikirkan kata “intervensi” dalam konteks politik internasional. Amerika Serikat solah-olah punya tangan dan kaki di seluruh penjuru dunia, menjangkau dengan ratusan ribu tentara dan peralatan militer termutakhir. Mereka telah “menegakkan demokrasi” di Irak, Afghanistan, dan Libya yang sebelumnya berada dalam pemerintahan tak stabil alias diktatorial (serta pemerintahan ekstrim Taliban). Amerika Serikat siap menyebarkan demokrasi dengan satu syarat : minyak (apa lagi yang mereka cari selain ini?) Semua negara yang disebutkan sebelumnya kaya akan sumber alam bernama minyak mentah. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap tindakan Amerika Serikat dalam hal “intervensi” pasti didasarkan atas kepentingan (here we go, realism).

Desakan banyak kalangan agar Amerika Serikat juga melakukan intervensi ke Myanmar saya anggap sebagai hal yang mustahil terjadi jika kita tarik ke belakang bagaimana sepak terjang “intervensi” Amerika Serikat. Saya bahkan yakin jika keikutsertaan Amerika Serikat dalam konflik Suriah pun dilatarbelakangi oleh kepentingan yang sama. Sejauh ini, yang Amerika Serikat lakukan dalam masalah Rohingya adalah penghentian bantuan ekonomi ke Myanmar. Tapi apa itu berefek besar? Bagi saya, tidak. Satu pintu tertutup, pintu lain masih terbuka, dan pintu tersebut bernama Republik Rakyat Tiongkok. RRT menggelontorkan ratusan juta dollar untuk pembangunan infrastruktur di Myanmar, dan Myanmar otomatis menjadi sekutu RRT di ASEAN selain Kamboja dan Vietnam. Ini belum dihitung dengan jumlah investasi dari sesama negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pertanyaan berikutnya : bagaimana jika Amerika Serikat berubah baik dan melakukan intervensi kemanusiaan ke Myanmar? Ingat, Myanmar itu adalah salah satu sekutu RRT di Asia Tenggara sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bagi RRT, menyerang Myanmar sama saja dengan menyerang "teman baik". Potensi perang terbuka antara RRT dan AS sangat mungkin terjadi jika skenario di atas menjadi nyata. Belajar dari pengalaman, AS tentunya tak akan sebodoh itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun