Sahur adalah momen sakral. Setiap Muslim yang berpuasa pasti tahu betapa berharganya waktu sahur. Bukan hanya karena ini kesempatan terakhir buat makan sebelum puasa, tapi juga karena perjuangannya: melawan rasa kantuk, membangunkan orang rumah, dan tentunya ... menentukan menu sahur!
Malam itu, saya sudah tidur dengan niat suci: bangun sahur dengan semangat. Alarm saya pasang tiga lapis---satu di ponsel, satu di jam weker, dan satu lagi strategi paling ampuh, yaitu menyuruh ibu untuk membangunkan saya dengan jurus khasnya: "Bangun! Sahur! Kalau nggak sahur, lemes nanti!"
Seperti biasa, saya terbangun dengan setengah sadar, antara masih di dunia mimpi dan realita. Saya mengintip jam. Jam 03.30 pagi. Mata masih sepet, tapi perut mulai bersuara seperti konser rock. Saya berjalan ke dapur dengan setengah mata terbuka, berharap menu sahur sudah tersedia dengan damai dan sejahtera.
Tapi ternyata, harapan tinggal harapan.
Di meja makan, ada dua kubu yang saling berhadapan seperti debat calon presiden. Ibu dan adik saya yang kedua duduk dengan gagah di satu sisi, sementara saya dan adik bungsu bersiap di sisi lain. Di antara mereka ada dua menu: satu adalah sepiring Nasi Padang yang megah dengan rendang, ayam pop, dan daun singkong, lengkap dengan kuah gulai yang menggoda iman. Yang satunya ... sepiring buah potong dengan yogurt.
"Ayo, makan sahur!" kata ibu dengan penuh semangat.
Saya mendekat dan langsung tahu ini jebakan. Bukan jebakan Batman, tapi jebakan perdebatan.
"Pilih yang mana? Nasi Padang atau buah?" tanya ibu dengan tatapan tajam penuh keyakinan.
Saya berhenti sejenak. Dalam hati, saya ingin berkata, "Ya jelas, Nasi Padang, dong!" Tapi melihat tatapan ibu yang sudah siap-siap dengan ceramah kesehatan, saya ragu.
"Nasi Padang jelas lebih mengenyangkan," kata adik yang duduk di sebelah saya sambil menyendok gulai ke piringnya. "Lihat nih, proteinnya tinggi, bikin kuat sampai buka."