Rindu tetap takkan terbahasakan di tepian basah hujan yang mengguyur aspal jalanan. Gemuruh awan yang membentang, langkah kaki pejalan Malioboro yang saling silang penuh tantang. Angin membawa daun melanglang. Hingga menuju petirtaan Ratu Boko. Seolah danau yang penuh pukau. Bersambut relief kepala Kala dan arca Dwarapala yang menatap penuh duka. Angin membawa angan berputar searah ke arah prasawiya. Di sana arca Siva teguh bersusun di antara wangi dupa berupa-rupa.
Daun berbincang pada angin. Padanya diletakkan segala angan dan ingin yang tak direstui takdir. Mimpi-mimpi telah mampat tersumbat. Diiringi tangisan kacau dari sebuah biola bisu bertajuk Sasadara.
Cahaya badar, sasadara, candra, atau orang Jawa sering menyebutnya wulan, teruslah berpijar di awang-awang. Menerangi luka daun menganga yang penuh lepuh. Rapuh, luruh tak pernah tersentuh.
Sejenak ingin kutuangkan kata. Rindu ini adalah sapa. Sejumput puja bahwa ia tetap lirih mencintainya. Satu derajat sebelum mimpi menjadi sunyi. Meski lirih ia tetap berbunyi. Meski hanya sekadar mimpi tanpa tali.