Mohon tunggu...
Achi Hartoyo
Achi Hartoyo Mohon Tunggu... Editor - https://achihartoyo.com/

https://achihartoyo.com/

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Secuil Kenangan Bersama Nenek Buyut

3 Oktober 2021   19:53 Diperbarui: 3 Oktober 2021   20:05 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nenek Uyut (panah merah) | Dokpri

Sayangnya, saat itu saya belum tau dan tentu saja belum tertarik dengan dunia kuliner. Maklum, masih kelas satu atau dua SD. Andaikan saat ini, Uyut masih hidup tentu saya akan minta resep jamur panggang yang dibungkus daun pisang tersebut.

Di lain waktu, Uyut mendongengkan saya legenda sebuah sendang yang bersumber dari sebuah pohon besar di suatu daerah. Dalam Bahasa Jawa sendang berarti mata air. Sayangnya, saya benar-benar lupa di mana lokasi sendang tersebut berada.

Sendang tersebut awalnya kecil dan sering digunakan warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lama kelamaan sendang tersebut membesar dan tiba-tiba muncul gerih pethek (ikan yang habitat aslinya berada di lautan).

Kemunculan gerih pethek tersebut membuat geger warga desa. Mereka menganggap kehadiran gerih pethek di sendang air tawar (tempat yang tidak seharusnya jenis ikan air asin berada) tersebut, sebagai pertanda akan datangnya sebuah bencana yang akan melanda wilayah desa. Atas inisiatif warga, kejadian tersebut kemudian dilaporkan ke raja.

Raja takut. Beliau menganggap kemunculan ikan tersebut sebagai ancaman bencana yang akan menenggelamkan wilayah kekuasaanya. Alkisah sendang yang bersumber dari pohon besar tersebut akhirnya ditutup dengan gong keramat dari keraton, agar airnya berhenti keluar dan tidak membanjiri wilayah kekuasaannya.

Cerita ini menurut saya sangat menarik. Sayangnya saya beneran lupa dari daerah mana legenda ini berasal. Yang jelas, dongeng-dongeng masa kecil yang dituturkan Uyut masih terekam kuat hingga sekarang.

Saat dewasa, saya jadi suka baca cerita dari buku Babad Tanah Jawa dan Serat Centhini. Cerita-cerita di buku tersebut mengingatkan kenangan saya dengan Uyut dan leluhur.

Uyut saya ini punya adik yang biasa kita panggil Uyut Ragil. Dalam Bahasa Jawa ragil berarti bungsu dan memang Uyut Ragil adalah adik bungsu Uyut. Beberapa hari sebelum Uyut meninggal, Uyut Ragil datang dari rumahnya di Klaten ke Ngawi. Uyut meninggal di usia 92 tahun saat saya masih kelas 5 SD.

Saat itu, tahun 90an internet dan ponsel pintar belum ada. Telepon juga masih langka di Ngawi. Uyut Ragil ini seperti tau kalau kakaknya (Uyut) mau berpulang. Di antara mereka seperti ada chemistry atau kontak batin untuk berkomunikasi.

Mungkin juga mereka berdua juga berkomunikasi dengan cara telepati. Saya kurang tau. Maklum, orang Jawa zaman dulu tirakatnya kuat dan rata-rata punya 'pegangan'. 

Uyut Ragil ini meski juga sudah sepuh tapi masih kuat untuk melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Kedatangan Uyut Ragil ini seperti sudah dipesan oleh Uyut untuk membantu melepas 'pegangan' yang dimilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun