Mohon tunggu...
Achi Hartoyo
Achi Hartoyo Mohon Tunggu... Editor - https://achihartoyo.com/

https://achihartoyo.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Prosa Sunyi untukmu Puanku

14 Juni 2018   01:48 Diperbarui: 14 Juni 2018   02:09 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wahai Puanku,
Seribu juta tahun lalu, nun jauh di lauhul mahfuz, Tuhan melukiskan takdir kita.
Seperti daun rapuh yang jatuh, takkan pernah lepas dari catatan-Nya.

Wahai Puanku, bumi yang kita pijak saat ini, menyatukan kita dalam takdir-Nya. Takdir yang entah di mana ujungnya.

Puanku, kutemukan gelora api dalam gelapmu. Tumpukan bara yang tersulut nestapa.
Dalam papa doaku, gelapnya pun sama. Namun, minyak dan air takkan pernah bisa bersama.
Kunyalakan suluh-suluh yang enggan membara, sungguh aku pun tak bisa berdusta.

Puanku, seringkali aku mencumbuimu dalam doa. Pun jua dalam tangis  dan tawa. Namun, aku tak hendak memadamkan unggun yang menyala.

Puanku, tahukah engkau arti cinta? Seribu lembar kertas takkan cukup menuliskannya.
Kamarku sepi, namun, gila karenamu semakin ramai menemani. Malam ini, seperti malam-malam yang lalu, selalu kusujudkan rindu.

Puanku, minyak dan air takkan pernah bersatu, namun bisa bersisian setiap waktu.

Puanku, pernahkah kau bertanya? Mengapa takdir mendekatkan sekaligus  menjauhkan? Jagad pramudita seringkali bercerita, bagaskara dan sasadara  yang takkan pernah bersama, hanya bersisian waktu, kisah anak cucu Adam  selalu berulang, takkan pernah padam. Hingga sangkakala diteriakkan  waktu.

Dalam gema doa aku bercerita, semoga kita tetap bersama. Aku tak  ingin suluh rindu kita penuh nafsu, biarkan Tuhan bercerita dengan  takdir-Nya.

Puanku, api yang membara sulit padam. Biarkan ia dipeluk doa yang diam. Biarkan dia menjadi hangat untuk kita berdiang.

Tatkala senja kulabuhkan doa, kusauhkan dera rindu yang enggan reda.

Puanku, penaku mungkin takkan pernah habis tintanya untuk menyapamu. Dalam diam, dalam rindu, aku selalu melukiskanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun