Mohon tunggu...
Achdian Hardini
Achdian Hardini Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Konsentrasi Ekonomi Moneter angkatan 2012. Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berita Hoax: Dampak Kebebasan Pers?

21 Februari 2017   03:05 Diperbarui: 4 April 2017   16:44 4380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : dutadamai.id

Ada yang berbeda pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di tahun 2017 ini. Tidak seperti peringatan HPN pada tahun-tahun sebelumnya, kali ini HPN lebih fokus pada tema “Pers dan Masyarakat Maluku Bangkit dari Laut” yaitu peran pers dalam revitalisasi kekuatan maritim nasional. Momen tahunan yang telah diselenggarakan di Ambon pada 9 Februari 2017 lalu, merupakan tindak lanjut dari program pemerintah dalam pembangunan sektor kelautan di Indonesia bagian timur, khususnya di provinsi Maluku. 

Acara tersebut dihadiri langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo beserta para menteri lainnya. Dalam pidatonya, Jokowi mengingatkan tentang fenomena berita ‘hoax’ yang meresahkan masyarakat. Betapa pentingnya peranan pers dalam membangun opini publik, sehingga harapannya agar pers lebih profesional dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, memberikan berita yang faktual, jujur, objektif dan terpercaya bagi khalayak luas.

Menyikapi Maraknya Berita Hoax

Beberapa pekan yang lalu, masih melekat dalam benak masyarakat tentang pemberitaan hoax (bohong) yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Mulai dari pemberitaan terkait isu masuknya 10.000.000 tenaga kerja asing asal China ke Indonesia yang ternyata dimanipulasi dari jumlah target kunjungan wisatawan mancanegara, kasus transkrip video pidato Ahok yang diunggah Buni Yani ke media sosial, hingga kasus manipulasi judul artikel tentang program kerja Ahok yang memicu perdebatan antar netizen. Seperti yang kita ketahui bersama, munculnya pemberitaan yang viral secara singkat tersebut di bagikan melalui sosial media. Tapi pernahkah kita mencermati terlebih dahulu dari mana asal sumber berita tersebut?Terpikirkah untuk meninjau ulang informasi yang diterima sebelum mengedepankan emosi yang tersulut?

Para penyebar berita hoax umumnya berasal dari situs-situs atau blog yang meragukan kredibilitasnya, selain itu pada situs tersebut pasti identitas penulis berita disamarkan atau narasumber tidak jelas asal usulnya. Media pers ‘abal-abal’ biasanya menghadirkan judul berita yang hiperbola, agar terkesan ‘wow’ bagi pembaca sehingga banyak yang tertarik untuk membaca lebih lanjut. Atas dasar ketatnya persaingan antar media pers saat ini, tentunya tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar kode etik jurnalistik yang ada. 

Berita yang baik yaitu yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik di dalamnya, yaitu bersifat independen, berimbang dan tidak mengandung iktikad buruk yang merugikan banyak pihak. Sebagai salah satu elemen bangsa yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, masyarakat Indonesia seharusnya dapat lebih bijak dan cerdas dalam menyikapi berita hoax yang bertebaran di sosial media. Bijaksana dalam hal ini berarti mampu memilah-milah mana yang opini dan mana yang fakta, manakah berita yang faktual dan manakah yang bersifat provokatif, agar kedepannya publik tidak mudah terhasut oleh ‘tsunami informasi’ yang berpotensi memecah belah kesatuan bangsa.

Atas Nama Kebebasan Pers?

Berdasarkan Undang-Undang tentang pers No. 40 tahun 1999, definisi pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memiliki, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar dan suara, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media elektronik, media cetak dan segala jenis saluran yang tersedia. 

Sedangkan definisi pers menurut ensiklopedi pers Indonesia menyebutkan bahwa istilah pers merupakan sebutan bagi penerbit/perusahaan/kalangan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan. Atas berbagai definisi tersebut, jelas rupanya jika pers dianggap sebagai ruang bagi media massa untuk menyampaikan informasi kepada khalayak masyarakat.

Tingginya mobilitas teknologi informasi dalam konteks media pers menyebabkan hilangnya batasan antara komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan) baik dalam batasan ruang maupun waktu. Hilangnya batasan tersebut menyebabkan tingginya output informasi yang lebih beragam dan bersifat demokratis. Dikatakan demokratis sebab setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengutarakan opini mereka, mengolah dan menganalisis informasi berdasarkan pemikiran masing-masing untuk kemudian disebarluaskan kepada pihak lainnya. Intinya kebebasan pers adalah hal yang tak terbantahkan.

Kebebasan pers di Indonesia mutlak sifatnya mengingat negara ini begitu menjunjung prinsip demokrasi. Namun kebebasan tersebut tetaplah harus berpegangan pada kode etik jurnalistik yang ada agar tetap berjalan sesuai aturan. Pembuatan berita di media massa pada dasarnya yaitu menyusun berbagai realitas dari peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Ketika kita berbicara mengenai politik, maka kita juga membahas tentang konstruksi realitas. Usaha mengkonstruksi realitas yaitu menekankan pada setiap upaya menceritakan atau konseptualisasi sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan sedemikian rupa dalam bentuk wacana yang bermakna.

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama yang menjadi instrumen pokok untuk menceritakan realitas yang ada. Persoalannya, lalu bagaimana jika bahasa yang digunakan tersebut umumnya mengandung unsur provokatif yang jauh dari kata berimbang dan cenderung menimbulkan salah persepsi bagi banyak pihak? 

Tentunya hal ini menyalahi kode etik jurnalistik yang ada. Memang terkadang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja tidak menaati kewajiban etis jurnalisme, alasannya agar pemberitaan lebih disorot masyarakat dan ramai diperbincangkan. Pemberitaan hoax yang belakangan terjadi adalah contoh dari sikap pers yang memanfaatkan media massa sebagai daya magnetik untuk mengeruk keuntungan pribadi. Sikap tersebut dapat dikatakan egois sebab telah mengotori kode etik jurnalistik dan menyalahgunakan kebebasan pers atas dasar demokrasi.

Momentum Perubahan Pers Indonesia

Peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tersebut, hendaknya dijadikan momentum bagi masyarakat pers di Indonesia untuk menegakkan kode etik jurnalistik di Indonesia. Tidak hanya sebagai ajang silahturahmi atau berfoto-foto saja, melainkan sebagai pengingat untuk ‘berubah’ menjadi lebih baik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pekerjaan media massa adalah mengkonstruksi realitas bukannya memanipulasi realitas. Wartawan sebagai insan pers, seharusnya dituntut untuk memiliki kemampuan mencari, mengolah dan menyajikan informasi berdasarkan hal-hal yang faktual, bukannya turut berpartisipasi dalam menciptakan kegaduhan publik demi meraup keuntungan pribadi.

Berita baiknya saat ini yaitu dewan pers telah menyusun beberapa program untuk memerangi berita hoax di kalangan masyarakat dengan cara membuat label khusus. Label khusus berbentuk kode Quick Response (QR code) tersebut adalah penanda bagi media massa yang telah berbadan hukum dan taat terhadap kode etik jurnalistik, di mana label tersebut akan dibubuhkan pada media cetak hingga media berbasis daring (online) yang terpercaya saja. Sedangkan untuk media massa yang ‘abal-abal’ tidak akan mendapatkan mendapat QR code tersebut, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengenali hoax atau tidaknya suatu berita. 

Menyikapi langkah pemerintah yang dirasa telah ‘tanggap’ situasi tersebut, kiranya kita sebagai masyarakat harus mengapresiasinya. Bagaimana mengapresiasinya? Mudah saja, dengan bersikap cerdas dalam memfilter setiap informasi yang ada di media massa. Tidak hanya pandai menentukan sikap, melainkan mampu bersikap pro aktif dalam menyampaikan opini yang sifatnya membangun dan meluruskan fakta. Setidaknya daripada hanya diam dan ikut terbawa arus, mengapa tidak menjadi pelopor inspiratif bagi lingkungan di sekitar?

If we want change the world, we change ourselves..

*ingin berdiskusi lebih lanjut seputar artikel "Berita Hoax: Dampak Kebebasan Pers?" kunjungi http://www.ridwanloekito.id/post/berita-hoax-apakah-ini-dampak-kebebasan-pers

Sumber:

www.ridwanloekito.id , sebuah blog inspiratif yang mengajak para netizen untuk berpikir lebih kritis, saling berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun