Mohon tunggu...
Handoyo El Jeffry
Handoyo El Jeffry Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan Siapa-siapa, Hanya Ingin Menjadi Siapa

Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sang Arif-Bijaksana, Di Manakah Dia?

13 Juni 2012   06:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Alkisah, sebuah api ditunjukkan kepada lima orang dalam suatu kumpulan, lalu mereka menyikapinya dengan cara yang berbeda.
Orang Jawa berkata,  “Iki geni… ”
Orang Inggris berkata,  “This is fire… “
Orang Arab berkata,  “Hadzan nar… “
Orang buta berkata dengan nada jengkel, “ Kalian semua salah ! Aku tak melihat apa- apa, kecuali kegelapan dan warna hitam ! “ Orang bisu yang tahu bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab berusaha menjelaskan tapi tak sanggup meredakan ketegangan di antara mereka.

Perselisihan memuncak, hampir saja menjadi perkelahian ketika tiba-tiba seseorang yang menguasai segala bahasa di dunia datang lalu menyampaikan perkataan dengan tenang. “ Kalian bertiga, orang Jawa, Inggris dan Arab semua benar, hanya bicara dengan bahasa yang berbeda, tak ada yang perlu diperselisihkan. Yang buta juga benar, sebab ia tak melihat apa- apa. Yang bisu juga benar, ia hanya tak mampu berkata- kata… “

Sebuah pelajaran kecil. Kebutaan adalah simbol kebodohan. Baginya dunia adalah kegelapan, tanpa pengetahuan, dia tak melihat apa-apa kecuali hitam kelam. Kepicikan adalah melihat dunia dari sudut sempit, kebenaran hanya berpijak pada diri pribadinya semata. Di luar dirinya, semua nampak salah dan sesat. Kebisuan, meskipun di dalamya ada pengetahuan luas, tapi kepintarannya belum cukup membawa kebaikan sesama jika ia gagal menterjemahkan bahasa manusia sebagai alat komunikasi. Hanya kearifan-kebijaksanaan yang bisa meredam perselisihan, memadamkan api permusuhan dan mencegah perpecahan ketika terjadi pertentangan dalam suatu kumpulan  manusia.

Jika pengetahuan adalah cahaya, maka orang bodoh adalah berada di dalam kamar tertutup rapat, tanpa celah sedikitpun untuk cahaya masuk ke dalamnya. Hidupnya terkurung oleh tempurung ruang-waktu. Dia akan selalu tersesat jalan terjebak dalam kegelapan, sebab nyaris tak punya pijakan ilmu-pengetahuan untuk memaknai kebenaran. Kelompok orang bodohlah yang selalu menjadi sumber utama perselisihan dan permusuhan dalam perkara antar manusia.

Orang awam (umum-kebanyakan) berada di dalam rumah dengan pencahayaan yang memadai untuk berktivitas. Sedikit pengetahuan untuk memahami kebenaran, namun masih mudah terpancing dalam perselisihan antar manusia. Sayangnya di dunia kelompok ini mendominasi populasi, menurut Thomas Alfa Edison, konon jumlahnya 85% dari total penghuni bumi. (boleh baca: Thomas A Edison: Pemikir Sejati, Hanya 5 % di Dunia!).

Orang pintar-pandai telah berkeliling halaman dan berkelana di satu desa. Ia lebih memahami cara berinteraksi dengan ribuan manusia karena lebih banyak mendapatkan cahaya ilmu-pengetahuan yang telah tersinergi dengan pengalaman. Aetingkat di atas pintar, orang cerdik-cendekia telah berkeliling dalam satu negara, bergaul dengan berbagai macam suku bangsa dan berbagai bahasa daerah. Maka dia termasuk dalam kelompok orang paling fleksibel bersikap dalam pergaulan antar manusia, paling sedikit perselisihan ketika dihadapkan pada perkara bersama.

Masih sayang juga, jumlah kedua kelompok ini  hanya berkisar 10% dari total manusia di dunia. Kebanyakan dari mereka terjebak dalam kebisuan, sehingga ‘gudang pengetahuan’ yang terkunci masih belum cukup memadai untuk meredam perselisihan (terlebih dalam skala luas bangsa-negara). Sebagian diantara kelompok cerdik-cendekia kadang masih terjerat dalam ketakutan berlebihan akan pengaruh negatif jika harus berinteraksi dengan kelompok yang 85%, sehingga akhirnya memilih mengambil ‘jalur aman’ dengan lebih terfokus pada penyelamatan diri, cenderung eksklusif, kurangnya kepedulian pada perkara mayoritas komunitas.

Sedang orang arif-bijaksana telah berkeliling di seluruh dunia, memahami segala bahasa manusia, tumbuhan, binatang, lingkungan bahkan alam semesta. Mereka telah menjelajah bumi dan antariksa sehingga ‘sang mata’ melihat kehidupan merdeka dari batasan dimensi ruang-waktu. Mereka telah menangkap cahaya pengetahuan berikut sumber emanasi energinya. Dunia dan alam semesta terlihat sama , bekerja dengan pola, mekanisme, konsep dan formula hukum yang sama. Hukum, hakim, hikmah. Tatanan, kebijaksanaan dan saripati-esensi pengetahuan, muara dari seluruh kebenaran.

‘Arif (yang mengenal) adalah pengenalan kebenaran sekenal-kenalnya. Nabi berkata: “Siapa mengenal dirinya, niscaya mengenal Tuhannya.” Siapa mengenal Tuhannya, tentu mengenal manusia. Siapa mengenal manusia tentu mengenal dirinya. Nafs (diri, ego, jiwa), rabb (lord-Tuhan) dan insaan-naas (human-manusia) adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Kenal salah satunya, maka kenal semuanya. Arif-bijaksana, melihat manusia plural dalam singular sekaligus singular dalam plural. Seluruh butir padi yang tersebar di muka bumi dalam jumlah tak terkalkulasi alat hitung, hakikatnya satu nama, padi. Ragam dalam satu, satu dalam ragam. Bhinneka Tungal Ika, Tunggal Ika Bhinneka. Berbeda itu (yang) satu itu. Satu itu (yang) berbeda itu.

Bagi arif-bijaksana, tak ada bedanya Jawa, Inggris, Arab, Indonesia, bahkan dunia dan jagad raya, termasuk orang bisu dan orang buta. Dalam kebenaran relatif, semua bisa menjadi benar, semua bisa menjadi salah, tergantung dari sudut mana melihantanya.  Arif-bijaksana telah mengenal (bukan mengetahui) sepercik cahaya kebenaran absolut, sehingga tidak kebingungan dalam perselisihan, dia tahu dari mana perselisihan itu muncul, dan tentu saja tahu pula cara meredamnya untuk mengembalikan pada satu kata asal muasal kemanusiaan. Kemanusiaan semesta, humanisme universal, uomo universale. Tugasnya hanya satu menebarkan cinta metta karunia, seperti misi rahmah lil’alamin Muhammad saw, rahmat-kasih-sayang-cinta bagi alam semesta.

Kelompok inilah yang hampir tak pernah ada perselisihan dalam memandang dan menyikapi hamper seluruh perkara. Sang Budha Sidharta Gautama, Bunda Theresa, Yesus Isa Al-Masih, Kong Hu Cu, Lao Tze, Gus Dur, Bung Karno, Thomas Jefferson, Abu Hamid Al Ghazali, Mansyur Al Hallaj, Syech Sitti Jenar, Musa (Moses), Raja Sulaiman (King Solomon), mereka semua berada di area millah Ibrahim (Abraham), komunitas nabi-nabi langitan dan ‘nabi-nabi sosial’ berbendera ‘agama publik’ bonum commune-bonum publicum, ‘ruh absolute’ agama universal-manunggal-pertengahan, kalimatun sawa’.

Arif- bijaksana adalah puncak dari gunung pemikiran, tangga terakhir manusia pemikir yang menurut Edison stok-nya hanya berkisar 1-5 % dari jumlah manusia di dunia. Tapi kehadiran mereka selalu ada pada setiap zaman dan setiap umat-bangsa. Mereka hanya muncul dari luar ‘zona nyaman’, lahir dari kaum miskin-papa dan sepanjang hidup bergelut dan bergulat dalam tempaan kawah candradimuka kepedih-perihan ramuan pengetahuan, proses kontemplasi sampai pada saatnya tiba untuk menyampaikan ‘risalah’ amanat penderitaan rakyat (ampera). Bahkan kemunculannya sering tak terdeteksi zaman, kecuali hanya tanda-tanda kondisi sebagai indikasi kemunculannya untuk tampil menyelamatkan umat manusia dan suatu bangsa dari perselisihan, permusuhan dan kehancuran.

Imam Mahdi (pemimpin yang mendapat petunjuk), satrio piningit sinisihan wahyu (ksatria-pejuang di bawah petunjuk-wahyu), ‘ratu adil’, ‘juru selamat’, akan selalu ada dalam siklus kehidupan dunia, bukan hanya sebagai mitos dan legenda, namun sebagai suatu keniscayaan ‘hukum kekekalan energi’ yang berlaku abadi sejak pertama kali ‘palu keputusan azali’ diketukkan Al-Hakim, Tuhan Maha Bijaksana. (boleh baca: RI1 2014, Satrio Piningit, dan Tuah Angka 7)

Apakah akan ditafsirkan sebagai figur manusia atau system, mereka yang buta, awam, pintar, cendekia tak akan pernah mampu mengeja kalimatnya dalam satu kata yang sama, sebab hanya mereka yang arif-bijaksana yang dapat mengenali meyakini dengan haqqul-yakin kehadirannya, baik dengan pendahuluan tanda-tanda maupun tiba-tiba.  Yang pasti ketika seluruh manusia tak sanggup lagi untuk meredam perselisihan, permusuhan, ketidakadilan dan kejahatan dalam komunitas manusia, maka hanya dia sang arif-bijaksana yang akan menyelamatkan sebuah bangsa dari kehancuran. Tak ada hal lebih yang bisa dilakukan kecuali bersama-sama menempa kesabaran dan membangun kesadaran sembari menunggu sampai saatnya hari ‘H’ itu tiba.

Salam…

El Jeffry

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun