Mohon tunggu...
Handoyo El Jeffry
Handoyo El Jeffry Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan Siapa-siapa, Hanya Ingin Menjadi Siapa

Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi KPK dan Korupsi 38 Artikel El Jeffry

7 Oktober 2012   06:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:09 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13495897071719627172

[caption id="attachment_202941" align="aligncenter" width="465" caption="GEDUNG KPK. (sumber photo: http://www.republika.co.id)"][/caption]

Tiada hari tanpa korupsi, tiada korupsi tanpa tradisi, tiada tradisi tanpa ada saat mengawali, dan tiada mengawali tanpa ada mengakhiri. Korupsi, tradisi, awal dan akhir menjadi siklus abadi. Hukum alam, hukum publik, hukum kekekalan energi, hukum dan keadilan di sebuah negeri bernama NKRI. Nyaris putus asa menyaksikan puncak kerusakan bertata negara-bangsa, dalam sebuah rantai besi lingkaran setan korupsi yang terasa bagai terkunci mati.

Hari ini aku butuh refleksi, setelah sekian lama mengikuti ‘gerak zig-zag beraturan’ tentakel gurita korupsi dalam menganeksasi perikehidupan dan tatanan sepanjang sejarah peradaban bumi surga nusantara. Dalam satu beranda kecil Kompasiana, sebuah media tulis baca yang konon katanya membuka ruang seluasn-luasnya pada dunia. Bahwa ketika engkau tertekan oleh himpitan, jangan hanya diam. Lalu bersuara memuntahkan lahar pemberontakan lewat gambar dan tulisan.

Aku ‘berhutang budi’ pada korupsi, karena darinya muncul energi dan kalori, spirit dan energi. Bahwa setan memang diciptakan oleh Tuhan untuk membuktikan manusia berakal sehat, sebagaimana neraka memang diciptakan untuk membuktikan bahwa surga itu nikmat. Korupsi diciptakan di dunia, dengan “bisikan setan” via perilaku manusia, dalam frasa khusus “kejahatan luar biasa.” Seperti kata seorang perwira, “Sampai kiamat, korupsi akan tetap abadi.”

Di ruang kecil ini, sekitar 140 hari berbagi, telah kumuntahkan “lahar pemberontakan” permusuhan abadi terhadap setan korupsi, dari gunung kebosanan dan kemuakan akan keadaan yang masih saja stagnan, bahkan kini bisa dikatakan di ambang titik nadir kehancuran. Gagal hukum di negara hukum, gagal moral di negara yang mengaku bermoral. Gagal keadilan di negara berfalsafah keadilan. Korupsi menjadi ‘neraca digital’ indikasi kehidupan gagal. Gagal negara, gagal keluarga, gagal manusia.

Lewat tulisan ini, artikel ke-39 sejak aktif menghembuskan “nafas pembaharuan” secara khusus membabar berlembar-lembar dalam tema “korupsi” hingga mungkin sebagian dari kita mabuk cerna oleh ragam kosa kata. Apa daya, tanpa kekuasaan yang absah memang tak mudah mengubah keadaan menghancurkan kejahatan. Atau memang mesti berkeringat air mata berdarah-darah selama berani menempatkan diri sebagai “musuh korupsi” sistemik-endemik di negeri ini.

Secara filosofi, mungkin korupsi di negeri ini memang realita yang mesti abadi. Telah 800 tahun gurita korupsi menjerat sejarah negeri. Sampai detik ini belum ada tanda-tanda menggembirakan. Segala cara dan upaya telah ditempuh, segala elemen, komponen dan lembaga telah dibentuk, tapi hukum negeri ini semakin hilang bentuk, keadilan semakin remuk. Faktanya, dalam sejarah perang panjang ‘melumpuhkan’ gurita korupsi sejak Indonesia merdeka, telah tercatat setidaknya 8 lembaga bentukan pemerintah. Paran dan Operasi Budhi di masa orla, TPK, Opstib di masa orba, KPKPN, KPPU, TGPTPK dan KPK di masa orde reformasi. Semuanya nol besar, bubar dengan 1001 alasan, atas nama hukum, politik dan kekuasaan. Tanpa gugatan, tanpa jawaban dan tanpa kejelasan.

Maka KPK pun sepertinya hanyalah sia-sia, pelengkap penderita legitimasi penguasa, hanya sekelompok cicak buntuk di hadapan para buaya. Korupsi sistemik-endemik, KPK hanya bagian dari rekayasa dan retorika. Maka kalaupun lembaga ini ada, akan selalu ada pula upaya “pemandulan-pengebirian” secara sistemik-sistematik. Semua akan tetap gelap bak salaman ala siluman, lembaga-lembaga diam-diam dalam kesepakatan-setan, legislatif, eksekutif, yudikatif, telah terkontaminasi virus koruptif pada fase kronis.

Di negeri  ”Koruptor dan agama KTP,” sumpah dan janji hanya “legi ing lambe” (manis di bibir), lambe mencla-mencle, esuk dhele sore tempe, inkonsistensi telah mentradisi.  Memang tak diragukan integritas para pimpinan KPK, dari Taufikurrahman Ruki hingga Abraham Samad, termasuk jajaran “para mujahid” Bambang Widjoyanto, Adnan Pandu, Busyro Muqoddas dan Zulkarnaen. Termasuk para tokoh dari berbagai elemen masyarakat yang konsisten mengawal KPK dari pelemahan, penggembosan, atau pengebirian secara sistemik-sistematik.

Namun barisan “laskar pejuang anti korupsi” membentur gunung karang “para penjahat pro korupsi.” Kepolisian, kejaksaan, kementrian, kepresidenan, anggota dewan, semuanya setali tiga uang. Hegemoni “penghancur” terlalu kuat bagi “penegak” KPK. DPR bersikukuh menolak anggaran gedung baru KPK, bahkan belum lama ada ‘lintasan liar’ di benak untuk revisi UU KPK. Sang Presiden SBY sendiri apalagi, hanya untuk membela ego kekuasaan dan partai, korupsi mendapat ‘pembenaran’ dengan pengakuan, “semua partai politik memang korupsi.” Jadi benarlah kiranya, ”mungkin kita semua adalah monster koruptor.”

KPK tak berdaya, lunglai dalam jeratan laba-laba politik Senayan dan istana. Overload dan overdosis ujian KPK di tengah perang politik segitiga, Abraham ibarat pelanduk terjebak di tengah pertarungan brutal para gajah. Demokrat, Golkar dan PDI-P berseteru berebut kuasa, KPK dipingpong hingga bodong, politisasi menjadi senjata klasik membela diri dengan nuansa “iri hati” keadilan. Kader Demokrat dijerat, KPK dituding politisasi. Century tetap misteri, Hambalang mengambang, Wisma Atlet macet.

Hartati menjadi sindroma, ambivalensi suap dan pemerasan. Rekayasa air mata Hartati Murdaya, “Jumat Keramat” menjadi saksi aksi ganjil “Save Hartati”. Rakyat awam jadi anak wayang, argumentasi hebat, membungkus kasus dengan baju-kejujuran, mundur teratur dari Dewan Pembina, mengemas citra dengan berlekuk-lipat berputar-putar, dalih korban-pemerasan, sakit kejang-kejang, politisi  demokrat memang cermat melihat gelagat. Padahal kita merindu Miranda “bernyanyi” merdu, membongkar misteri korupsi satu persatu.

Golkar tak kalah cara, ZD dijadikan tersangka, lagi-lagi KPK dituduh politisasi. AlQuran dikorupsi, dugaan kejahatan di “gedung suci,” korupsi Depag, Tuhan terdepak, kutukan sejarah memuncak. Agama tergeser kebutuhan politik.  Tak perlu heran, ketika sumpah menjadi sampah, janji-janji mengebul bak polusi. Maka sebulan muslim berpuasa, namun korupsi tetap leluasa. Apa yang tersisa? Agama hilang bentuk, remuk. Entah, masihkah berguna ruh agama bagi ruh negara, meski ada wacana rekomendasi NU tentang hukum mati koruptor. Biasanya, wacana hanya tinggal wacana, cukup dibaca-baca untuk menyegarkan suasana.

Tak kalah dengan PDI-P, tak urung Mega pun ‘kritik’ KPK disamping mengemukakan rasa bangga sebagai presiden yang berjasa menelurkan lembaga itu. Mega merasa langkah KPK terkesan mengejar orang-orang partainya, tentu tak lepas dari sejumlah politikus PDIP yang diseret KPK terkait kasus pemilihan suap DGS BI, dan  yang terakhir, politisi senior Emir Moeis telah menjadi tersangka kasus dugaan suap PLTU Tarahan.

Apa yang tersisa dari KPK? Abraham hanya berteriak hingga serak dengan mulut berbusa. Ancam sana-ancam sini, menebar teror bagi para koruptor, bergerilya sebisa-bisanya, sepertinya itu lebih baik daripada putus asa. Setelah mendulang simpati rakyat dengan saweran gedung KPK, mengumumkan menteri yang bakal jadi tersangka lalu dicabut kembali pernyataannya, berjanji akan menahan Irjen DS dalam pemeriksaan perdana di “Jumat Keramat” tidak bergeser dari tempat duduk dan ruangan menunggu tim penyidik menyodorkan surat penahanan, lalu Djoko Susilo pun lolos dari “Jumat keramat.”

Diawali ‘jab-jab kecil’ ketika Polri tarik 20 penyidik KPK, lalu terjadi ‘penyerbuan’ polisi ke gedung KPK dalam penangkapan seorang penyidik KPK, menjadi klimaks dari “perang saudara” sesama lembaga penegak hukum. Ini adalah revans atas ‘penyerbuan’ penyidik KPK ke ‘markas’ Polri tempo hari, puncak segala puncak kemelut hukum terburuk di negeri ini.Kisruh hukum: gagal hukum negara hukum. KPK dan Polri ‘bertarung hidup mati’ saling bersikukuh, saling tuduh dan saling bunuh dengan masing-masing punya argumen ampuh, kode etik dan kode hukum. KPK tak bergeming, rakyat ada di belakang siap backing. Polri tak berpaling, tak peduli harus menggunakan ‘dopping.’ Koruptor dan maling tertawa terbahak-bahak hingga terkencing-kencing.

Skandal terbesar sebuah negeri hukum. “Sim salabim simulator SIM.” Drama magic illusinonis aparat hukum mencapai babak kritis, para artis hukum salah tata panggung dan olah permainan. Sulapan berujung maut, simulator SIM menjadi simulator gagalnya sterilisasi negara dari virus koruptor. Di titik genting kompetisi KPK-Polri, SBY mati suri. Sang panglima tertinggi yang berjanji akan berada di garda terdepan perang anti korupsi hanya berdiam diri gigit jari, justru sibuk di nina bobokkan dengan konser seni dan guyuran penghargaan bergengsi luar negeri.

Tak ada yang tersisa dari negeri ini, selain korupsi yang tetap abadi. Tak pula KPK, karena mungkin sudah kodratnya, lembaga ini ada hanya sebagai cicak di tengah koloni buaya. Mission imposible mengharap KPK sebagai cicak perkasa. Hanya utopia. Korupsi Indonesia dan KPK hanya dua sisi pada sekeping koin logika. KPK mungkin memang harus ada, korupsi juga mungkin harus ada, namun keduanya berada di sisi berbeda. Antara hitam dan putih, gelap dan terang, baik dan jahat, Tuhan dan setan, kebenaran dan kesesatan. Kita hanya bisa memilih untuk berada di salah satunya, tanpa bisa berharap saling mengalahkan satu dengan lainnya, itulah pilihan logika kita.

Koin KPK hanya menjadi simbol keberpihakan dalam opini pribadi, antara hukum dan keadilan di satu sisi dengan hukum dan ketidakadilan di sisi lain. Dua hal berbeda, berlawanan dan bermusuhan, tapi sama-sama membutuhkan dan sama-sama pula memiliki landasan hukum. Entah hukum apa, dari mana oleh siapa dan seberapa besar efeknya bagi masa depan good governance negara hukum. Wajah negara terbelah dua. Satu wajah, KPK, dengan wajah-wajah lusuh rakyat-cicak-kurcaci yang berkubang peluh dan pucat-pasi. Dan lain wajah, negara, dengan wajah-wajah hitam-kelam-buaya-kurcaca penguasa-pengusaha-politisi-birokrasi yang garang menantang dan penuh energi.

KPK sekarat, (ke mana) rakyat menggugat? Negara sekarat, (ke mana) rakyat mencari daulat? Hukum sekarat, (ke mana) tempat untuk selamat? Mungkin korupsi di negeri memang harus abadi. Karena tak ada lagi celah untuk lari dan sembunyi. Kita di sini, di lingkaran ruang tiga dimensi bumi pertiwi, di lorong waktu yang tak pasti, suka tidak suka hanya mengantre giliran korupsi. Korupsi massal nasional, berjamaah dan munfaridh, terencana dan insidental, lintas bahasa-etnis-gender-agama, lintas strata-kasta-usia, memaksa kita untuk bertanya, ”Korupsi kapan dong giliran saya?

Di ruang ini kita refleksi, tulus atau basa-basi. Sedikit lintasan liar seorang korban ketidakadilan, mungkin misteri korupsi tetap menjadi misteri, karena korupsi ini melibatkan “alam ghaib” dunia jin.Mungkin jin memang terlibat korupsi, bahkan mungkin mereka “para dhedhemit, genderuwo, kuntilanak, tuyul”-dan sejenisnya yang menjadi dalang semua ini, sehingga korupsi tak terjamah oleh tangan makhluk dari spesies manusia. Atau mungkin pula kita memang gagal memikul amanat sebagai manusia, apalagi memikul negara. Maka bolehlah kiranya jika kita belajar mengakui satu frasa paling kita benci, “Gagal negara, gagal keluarga dan gagal manusia.”

Salam... El Jeffry

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun