Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saatnya Menghitung Umur Kita?

24 Juli 2012   16:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40 2129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Umur merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia. Seseorang yang berharap umur panjang, tentu karena sangat paham betapa berharganya sebuah umur, tapi, misteri umur adalah tetaplah sebuah titik hitam yang tak akan pernah mampu diterjemahkan manusia, tidak akan begitu saja terkuak…
Dipandang dari filasafat, panjang umur sebenarnya mengandung dua pengertian. Pertama, panjang umur dalam arti benar-benar panjang umur secara matematis, seperti berusia seratus tahun atau lebih misalnya. Dalam pengertian ini, perbandingannya adalah mereka yang memiliki umur yang lebih pendek. Sebagai contoh misalnya, apabila jasmani berusia 100 tahun dan rohani 90 tahun, maka jelas jasmani bisa disebutkan berusia panjang.
Penegertian kedua lebih kepada hakikat, yaitu seberapa besar, yaitu seberapa besar seseorang mengisi umurnya dengan hal-hal yang baik, dengan amal saleh, berguna untuk kepentingan umum. Maka dalam penegertian ini, tidak menjadi soal apakah ia berusia lima puluh tahun, enam puluh tahun atau lebih singkat dari itu.
Mereka yang berusia panjang dalam pengertian kedua ini biasanya digelari para Nabi, pahlawan, pelopor, atau mereka yang sangat banyak jasa-jasanya untuk kepentingan masyarakat umum. Nabi Muhammad SAW yang dalam pengertian umur pertama tidak mencapai tujuh puluh tahun, tapi dalam pengertian kedua adalah sangat panjang. Paling tidak sampai akhir zaman nanti, manusia akan tetap menegenal dan mengenangnya.
Dengan munculnya dua pengertian tentang hakikat dari panjang umur, menandakan bahwa masalah umur ini memang penuh misteri. Belum lagi apabila kita kaitkan dengan realita kehidupan. Misalnya , dalam konteks pengertian medis, beberapa cara seperti menghindari rokok, menjauhi narkotika, menjauhi minuman beralkohol, menjauhi stress, rajin melakukan olah raga secara teratur akan hal lain-lainnya, merupakan cara yang diyakini bisa memperpanjang umur. Padahal dalam pengertian agama, umur lebih ditentukansejak awal kehidupan, seperti halnya masalah jodoh dan kematian. Bukankah cara pandang ini adalah semakin memberikan pengertian , bahwa umur adalah sebuah masalah yang mengandung misteri?
H. Burhanuddin dalam bukunya “Filsapat Manusia” , terbitan Salman Jaya menerangkan, bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya akan bisa mengisi umur dengan baik apabila secara hakikat dia mengerti siapa dirinya. Pertanyaannya, siapakah manusia dan bagaimana kedudukannya dalam realitas kehidupan? Ini merupakan pertanyaan yang selalu menarik perhatian para filsuf, termasuk Max Scheler. Manusia disebut sebagai “animal rationale” atau hewan yang berbudi. Dalam pengertian ini tidaklah diartikan bahwa manusia itu benar-benar sama saja dengan hewan, hanya ditambah dengan budi.
Lebih lanjut dalam buku karangan “Filsapat Manusia” di jelaskan bahwa memang benar manusia mempunyai aspek-aspek yang mirip dengan budi hewan, akan tetapi itu hanya aspek saja, bukan keseluruhannya. Dalam reaksi-reaksi biologis memang ada persamaan, tetapi reaksi psikologis sangat berbeda. Bagi manusia sudut biologis itu hanya merupakn momentum saja, jika film itu diputus, maka orang merasa yang dilihat itu belum lengkap atau habis. Dengan demikian jelas bahwa kata tambahan ‘berbudi” bukan hanya sesuatu yang ditempelkan betul-betul pertunjukan kodrat manusia itu sendiri.
Panjang usia secara kualitas, tampaknya erat kaitannya dengan moralitas seseorang. Atau dengan kata lain, seseorang yang bermoral akan memiliki umur panjang seacara kualitas. Seseorang yang tidak bermoral, tentu akan mengisi jatah usia di dunia ini dengan hal-hal negatif, merugikan orang lain dengan melakukan kejahatan dan lain sebagainya. Sehingga secara keseluruhan dia menjadi beban bagi kehidupan dan lingkungannya.
Secara medis, panjang umur bisa diupayakan dengan hal-hal yang sangat kongkrit, misalnya menjauhi rokok, minuman beralkohol, olah raga rutin, dan lain sebagainya. Tapi apakah dengan cara seperti itu akan menjamin seseorang akan berumur panjang? Padahal secara dogmatis, agama telah mengajarkan persolan umur seperti juga masalah jodoh, adalah sesuatu yang sangat misterius. Rentang umur seseorang telah dijatah, telah ditentukan sejak awal. Artinya kalau sudah ditakdirkan hari ini seseorang meninggal, tentu saja upaya medis akan sia-sia saja.
Pemikiran-pemikiran seperti itu penting sekali, agar kita tidak terlampau menunggu takdir. Apalagi sampai beranggapan, mau sehat atau sakit, makan atau sakit, makan sehat atau kotor, tidak berpengaruh pada kematian seseorang, karena umurnya telah ditentukan. Jika telah ditakdirkan meninggal, buat apa perlunya makan sehat? Pemikiran seperti ini jelas keliru, karena akan menyebabkan seseorang bertindak frustasi.
Umur merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia. Seseorang yang berharap umur panjang tentu karena sangat paham betapa berharganya sebuah umur. Tapi tentu saja masalah akan selesai, misteri umur akan begitu saja terkuak. Tidak. Karena yang terpenting bukan mengerti akan kepentingan bagi kehidupan manusia, tapi bagaimana mengisi umur agar menjadi penting bagi kehidupan manusia.
Seseorang yang meminum minuman beralkohol bisa diartikan sebagai tindakan ketidak mengertian pada bagaimana mengisi umur dengan baik. Seseorang yang tidak olah raga secara teratur pun bisa diartikan sebagai ketidakmengertian akan umur bagi kehidupan manusia. Tentu saja pengertian ini tidak ada hubungannya dengan pendapat, olah raga tidak olah raga sama saja, toh yang tidak olah raga secara teratur juga banyak yang sehat, demikian sebaliknya kalau sudah ditakdirkan harus sakit ya tetap saja sakit.
Dengan berpikir apa yang telah dilakukan sepanjang mengisi umur akan memacu seseorang untuk mengisi umur dengan hal-hal yang positif, sehingga umur 50 atau 60 menjadi tidak berarti, karena yang terpenting adalah kualitas dalam mengisi umur tersebut. Demikian pula halnya dengan berpikiran apa yang telah dilakukan bagi kehidupan manusia, akan memicu seseorang untuk menjadi manusia yang sehat, cerdas, baik.
Seseorang yang berusia 70 tahun, bisa saja ia menyadari bahwa rentang kehidupan di dunia ini telah 70 tahun lamanya. Tapi seseorang yang berusia 70 tahun bisa saja ia justeru berpikir, berapa tahun lagi jatah usia hidup di dunia ini. Artinya ia berpikir bahwa umur bukan bertambah tapi semakin menyusut ke titik habis. Ada pula seseorang yang berusia 70 tahun justeru berpikir, bahwa kalaulah ia mulai dewasa berpikir dari usia 20 tahun, artinya 70 tahun dikurangi 20 tahun, selisihnya telah berjumlah lima puluh tahun. Terserah Kita semua mau memilih yang mana. Namun yang jelas, menghitung umur perlu senantiasa dilakukan agar tidak kecolongan. Jangan sampai tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi (gilanya)….semoga menjadi pengingat untuk saya pribadi. Kebenaran hanya milikNya, mohon maaf jika banyak kekuarangan. Wassalam.

NB: dari berbagai sumber.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun