Judul Buku : Corat-Coret di Toilet
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Tahun : 2014
Jumlah Halaman : 129 + 5 halaman romawi
ISBN : 978-602-03-0386-4
Corat-Coret di Toilet merupakan buku kumpulan cerpen karya penulis ternama, Eka Kurniawan. Prestasinya tak perlu diragukan lagi. Karya pertamanya yang berjudul Cantik Itu Luka (2002) mendapatkan penghargaan perdana World Readers. Buku keduanya berjudul Lelaki Harimau (2004) membawa Eka masuk nominasi ajang penghargaan The Man Booker International Prize 2016 serta menyabet Emerging Voices 2016 untuk kategori fiksi. Kedua buku itupun kini sudah di terjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan masing-masing berjudul Beauty is A Wound dan Man Tiger pada tahun 2015.
Kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet ini berisi 12 cerita pendek yang tidak saling berkaitan. Buku ini berisi cerita-cerita pendek yang bertemakan komedi-satir dan juga kisah cinta yang menyedihkan. Keunikan buku ini terletak pada penggambaran sebuah kejadian sehari-hari yang biasa terjadi di tahun 1999-2000, tetapi sebenarnya menyimpan makna sarkastik yang cukup mendalam. Selain itu, kisah cinta yang dibawakan disini selalu diakhiri dengan ending yang mengejutkan atau sering disebut plot twist.
Kali ini saya akan membahas salah satu cerpen yang menurut saya terbaik yang terdapat dalam buku ini, yang tidak lain ialah Corat-Coret di Toilet itu sendiri.
Cerpen Corat-Coret di Toilet menceritakan tentang sebuah toilet umum yang baru di cat kembali berwarna krem. Kemudian datang seseorang berpenampilan seperti anak punk. Setelah menyelesaikan tujuan utamanya datang ke toilet, dia terkagum-kagum dengan dinding toilet yang masih bersih dari corat-coretan ini. Akhirnya dia pun menuliskan sebuah tulisan di dinding toilet itu menggunakan spidol biru yang disimpan di tasnya. Ia menulis “Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!” Coretan inilah yang menjadi cikal-bakal dari corat-coretan selanjutnya. Mereka saling membalas tulisan yang sudah tertulis sebelumnya di dinding toilet itu. Ada yang menuliskan tulisan-tulisan konyol, gagasan radikal progresif, ajakan kencan, dan ada pula yang menuliskan puisi-puisi yang sebelumnya ditolak penerbit. Bahkan para kartunis pun ikut menyemarakkannya dengan gagasan ‘the toilet comedy.’ Dinding toilet itu kini menjadi sarana aspirasi bebas yang siapa saja bisa ikut ambil suara.