Mohon tunggu...
Jong Celebes
Jong Celebes Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar

"Tidak ada kedamaian tanpa Keadilan"

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jakarta is The Late City, but Better Late Than Never

21 Agustus 2019   06:15 Diperbarui: 21 Agustus 2019   08:33 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah seorang relawan (kaos kuning-putih) sedang meminta salah satu pejalan kaki mengisi kuesioner (dokpri)

Ada yang bilang Jakarta adalah The Late City atau Kota yang telat berbenah dibanding kota-kota lainnya di dunia, karena telat itulah Jakarta kini tengah dirundung masalah yang kompleks baik itu banjir, kemacetan, polusi, kriminalitas, sampah dan lain sebagainya. Ada yang bilang, Ibarat kanker, Jakarta ini sudah di stadium 4 sehingga tidak bisa lagi di'sembuhkan' siapapun dokternya (baca : Gubernurnya). Apa benar?

 Better Late than never, saya termasuk yang tidak setuju klaim tersebut. Sebagai warga Jakarta yang sudah puluhan tahun di sini, menurut hemat saya tidak ada kata terlambat memulai hal yang baik demi Jakarta yang lebih baik (sehat, aman dan nyaman). Caranya dengan 3 M yakni Mulai dari yang terkecil, Mulai saat ini dan Mulai dari diri sendiri. Kuncinya adalah kesadaran dan gotong royong. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu diantaranya beberapa diantaranya dengan membudayakan naik angkutan massal, dan berjalan kaki. Sekilas ini aksi remeh tetapi jika  coba dalami, banyak hikmah dan manfaat yang bisa kita peroleh. Apa saja hikmahnya?

 Pertama, dengan naik angkutan umum massal, selain hemat dan cepat juga bisa mengurangi polusi udara sehingga kehidupan kita semakin sehat.

Kedua, dengan naik angkutan umum massal akan mengurangi  kemacetan di Jakarta karena berkurangnya kendaraan pribadi di jalan raya.

Ketiga, dengan naik angkutan umum massal secara tidak langsung kita ikut menggerakan roda ekonomi perusahaan-perusahaan penyedia layanan transportasi massal yang notabene  milik pemerintah.

Keempat, dengan naik angkutan umum massal, kita akan terbiasa untuk bergerak-berjalan kaki dari satu lokasi transit (halte) ke lokasi lainnya sehingga sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan pikiran kita.

Masih banyak manfaat lainnya dari berjalan kaki, misalnya mengurangi gejala varises, menurunkan resiko penyakit kronis, membuat suasana hati (mood) semakin baik, menurunkan berat badan, melancarkan sistem pencernaan dan memperkuat otot paha dan betis.

 Itulah manfaat dan hikmah yang diperoleh dengan naik angkutan massal dan berjalan kaki. Seandainya kesadaran ini tumbuh sejak awal bagi banyak orang maka mungkin saja Jakarta yang kita sayangi ini lebih baik dari yang sudah ada sekarang.

Lagi-lagi Better Late than never , tidak ada kata terlambat untuk memulai hal yang baik. Seperti yang dilakukan para relawan Kemarin, Selasa 20 Agustus 2019 di berbagai lokasi di Jakarta, Depok dan Bekasi yang menggelar campaign Jalan Hijau.

 Jalan Hijau adalah gerakan atau kampanye yang dibuat oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk mendorong masyarakat menggunakan angkutan massal dan manfaat berjalan kaki bagi kesehatan. Dibantu oleh beberapa mahasiswa dari Sekolah Tinggi Transportasi Darat, kampanye dilakukan selama 4 hari (Senin 19 Agustus s/d Kamis 22 Agustus 2019) di 4 lokasi secara serempak yakni di Kawasan Dukuh Atas  Sudirman, Stasiun Juanda, Perempatan MM Bekasi Barat dan Jalan Baru Depok.

Para relawan turun ke sejumlah titik  membentangkan spanduk dan Handboard yang berisi pesan-pesan kreatif manfaat jalan kaki dan pentingnya naik angkutan umum massal, serta membagi-bagikan souvenir bagi para pejalan kaki. 

Dokpri
Dokpri
Kenapa mengangkat istilah Jalan Hijau? #Jalanhijau mengandung makna apabila semakin banyak masyarakat beralih menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki maka lingkungan akan menjadi sehat dan bersih (go green). Dengan kampanye Jalan Hijau ini setidaknya mengangkat dua isu yakni kesehatan/lingkungan dan isu transportasi. Harus diakui bahwa dengan meningkatnya penggunaan kendaraaan pribadi di Jakarta berdampak pada kemacetan dan tingginya angka polusi udara.

Karena itu, melalui gerakan Jalan Hijau ini masyarakat bisa lebih awarness lagi soal isu transportasi dan lingkungan hidup. Hanya saja, gerakan hanya tinggal gerakan tanpa makna dan tak berdampak luas apabila tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah itu sendiri.

 Soal budaya menggunakan angkutan umum, pertama, pemerintah harus segera menata layanan transportasi publik yang terjangkau, aman dan nyaman. Kedua, pemerintah juga harus segera mewujudkan Integrasi antara layanan moda transportasi publik (LRT, MRT, KRL, Transjakarta dll). Jika kedua ini terjadi, yakinlah masyarakat akan berbondong-bondong pindah menggunakan layanan transportasi publik.

 Sementara untuk soal budaya berjalan kaki, pemerintah harus menata trotoar agar lebih manusiawi, kembalikan trotoar kepada fungsinya semula sebagai tempat dimana warga bisa dengan santai, aman, nyaman  berjalan kaki, bukan sebagai jalan alternatif para pengendara motor menembus kemacetan di Jakarta. Dan yang terakhir gencarkan kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menggunakan transportasi publik dan manfaat berjalan kaki bagi kesehatan tidak hanya di jalan raya tetapi juga di sekolah-sekolah. Harapannya, kampanye Jalan Hijau bisa terus bergulir lebih masif dan luas lagi. Akhir kata, Better Late than never. klik Videonya  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun