Mohon tunggu...
Abusagara
Abusagara Mohon Tunggu... -

satu hari, satu tulisan. Ingin mendapatkan kebaikan mesti harus memungut dari jalanan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jelata Mengasah Nalar

27 Februari 2018   10:51 Diperbarui: 27 Februari 2018   18:50 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk kita yang tidak kenal hukum,

Jangankan ngapalin aturan (UU), apalagi ikut simposium,

PP, PERDA, KEPRES, itu bukan konsumsi umum,

Kita hanya mikirin perut ya pak , harap maklum,

Beras memang ada, tapi lauknya belum.


BAB 2 pasal sekian point delapan, bagian A,

Coba sebutkan dihadapan rakyat, apa peduli mereka?

Yang penting kita bekerja,

inginnya jadi pegawai tetap, bukan kontrak beberapa bulan saja,

Tanpa tunjangan jelas, setiap 1 Mei kami terus ke istana?

Capek pak, kami butuh nasi, nabung kalau ada sisa.


Memang kami jelata tanpa harta,

Kami tidak malu, memeras keringat, keluar pagi buta,

Urat malu kami sudah berubah jadi derita,

Beras seliter, gula sekilo, harus kami bawa sebelum isya,

Anak kami sekolah, tidak cukup pakai kartu sakti saja.


Akhirnya kami punya gadget,

Hasil nyicil, setelah lunas karpet,

Awalnya senang, lama-lama kaget,

Ternyata gak ada guna , kalau gak ada paket,

Sudahlah, kepalang ada , kami beli dengan uang lecet dari dompet.


Satu persatu kami install,

Kekinian, agar semua berita kami hafal,

Dari kabar duka, bencana alam, korupsi, sampai info pasar modal,

Guru tewas ditangan murid berandal,

Ghautah di Syiria dihancurkan rudal,

BBM tarifnya semakin tidak normal,

Koruptor bisa ikut pilkada tak masuk akal,

Telinga kami panas semakin gatal,

Keasikan, eh lupa perut kami belum terganjal.


Kami mulai scrool tiap ruang,

Like, comment, share, sesekali order barang,

Raba saku, tipis tidak ada uang,

Cancel orderan, penjual marah bilang "pecundang",

taunya majikan marah, pasang muka garang.


Jalur perhubungan kita ternyata sibuk,

Lalu lintas negara semakin buruk,

Berjuta kilo gram, atau kwintal berbagai serbuk,

Sabu-sabu, dan zat adiktif lainnya bukan kerupuk,

Masif sekali, berkali-kali, tidak terhenti BNN sibuk.


Cerita hari ini banyak berjejal,

Hidupkan pemberitaan banyak yang disumpal,

Yang bertahta gelontorkan aturan untuk mencekal,

Sepertinya panik , rakyat bersuara dianggap amoral,

Rakyat punya mau, menganggap bapak tidak bekerja total,


Kami tak berani bilang bapak dungu,

Takut kami kalau dipenjara 72 minggu,

Tapi kami jengah lihat pengedar sabu,

Cuma 8 bulan saja jeratan buat pelaku.

Penyakit apa yang menjangkiti hukum kita ya bu?


Yang ngurusin perut mengasah nalar,

Bertanya-tanya , salah atau benar?

Ini negara hukum? Keadilan terasa hambar,

Goyah seperti pohon tak berjangkar,

Perut kami kembali buyar, menambah lapar,

Ketimpangan memenuhi layar dan terus menjalar.


Rakyat bersuara, penghinaan namanya,

Narkoba memangsa anak bangsa, gemes kami melihatnya,

Aparat memeluk pengedar, ekspresi iba,


Kita negara ribuan pulau, bukan pecandu putau,

Kami bersama bapak, jika serius jangan senda gurau,

Perut lapar, otak tambah kacau,

Disediain penjara seperti ranjau,

Kami berharap adil dalam meninjau,

Agar hukum itu tegak, semua dibuat silau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun