Bila Anda merasakan kesedihan mendalam di penghujung Ramadan, itu adalah tanda keimanan dan kecintaan kepada Allah. Rasa sedih membuncah, biasanya pada saat rakaat terakhir. Kita merasakan sesak di dada. Mata terasa memerah, dan air mata membasahi pipi. Rasa sedih itu, biasa berlanjut hingga sujud terakhir, dan enggan mengangkat kepala dari sujud terakhir. Setiap ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan pasti menghadirkan rasa haru ketika mendekati akhirnya. Perasaan sedih di akhir ibadah bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Ketika ibadah hendak usai, hati merasa kehilangan momen-momen penuh keberkahan dan kedekatan dengan Allah. Kesedihan ini menunjukkan bahwa seorang hamba telah merasakan kenikmatan dalam beribadah dan berharap untuk dapat terus berada dalam kondisi tersebut. Sikap terbaik adalah memperbanyak istighfar, berdoa, dan bersyukur.
Kesedihan Para Salaf di Akhir Ibadah
Para salafush shalih, orang-orang saleh terdahulu, sangat memahami makna kesedihan di akhir ibadah. Mereka begitu menikmati ibadah hingga ketika ia berakhir, mereka merasa kehilangan. Salah satu contoh adalah kesedihan mereka di akhir bulan Ramadan. Saat hari kemenangan tiba, mereka justru menangis karena berpisah dengan bulan penuh keberkahan. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, "Orang-orang saleh terdahulu enam bulan sebelum Ramadan berdoa agar dipertemukan dengannya, dan enam bulan setelahnya mereka berdoa agar amalan mereka diterima."
Kisah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu juga menjadi contoh nyata. Suatu ketika, setelah menunaikan shalat malam, ia menangis tersedu-sedu saat fajar menyingsing. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab bahwa ia takut ibadahnya tidak diterima. Ini menunjukkan bahwa kesedihan di akhir ibadah bukan hanya karena perpisahan, tetapi juga rasa takut apakah ibadah tersebut telah dilakukan dengan baik dan diterima oleh Allah.
Demikian pula dengan para sahabat yang selalu menangis di penghujung shalat mereka. Bukan karena kelelahan, tetapi karena mereka merasa nikmatnya berbicara dengan Allah telah berakhir. Kesedihan ini adalah cerminan hati yang dekat dengan Allah dan tidak ingin kehilangan kelezatan dalam beribadah.
Bersedih karena Takut Ibadah Tidak Diterima
Salah satu alasan utama seorang hamba bersedih di akhir ibadah adalah karena ketakutan jika amalannya tidak diterima oleh Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati penuh ketakutan (karena mereka tahu) bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mu'minun: 60). Ayat ini menggambarkan sifat orang-orang beriman yang selalu khawatir terhadap kualitas ibadah mereka.
Rasa takut ini juga dirasakan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang ayat di atas. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah orang-orang yang berbuat dosa, melainkan mereka yang telah beribadah namun tetap takut amalannya tidak diterima. Ini menunjukkan bahwa kesedihan dan kekhawatiran di akhir ibadah adalah tanda keimanan yang tinggi.
Kisah lain datang dari Imam Ahmad bin Hanbal. Saat ajalnya mendekat, beliau masih terus beristighfar dan menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau berkata bahwa dirinya masih belum yakin apakah semua amal ibadahnya diterima atau tidak. Ini adalah bentuk ketawadhuan dan kesadaran akan pentingnya amal yang murni dan diterima oleh Allah.
Menjadikan Kesedihan sebagai Motivasi untuk Ibadah Selanjutnya