Di sebuah ruangan sederhana di kantor Kementerian Desa, Rebo, seorang kepala desa dari pelosok, duduk berhadapan dengan Menteri Urusan Desa, Driyan. Kopi di cangkir mereka sudah mulai dingin, tapi pembicaraan belum juga menemukan titik terang.
Rebo: "Maaf, Pak Menteri, saya ini pusing tujuh keliling. Kepmendes bilang 20% dari dana desa harus untuk ketahanan pangan. Tapi desa saya kecil, lahan pertanian hampir nggak ada. Mau tanam padi, nggak cukup tanah. Mau ternak, modal dan pengetahuan kurang. Lha, terus bagaimana?"
Driyan menghela napas panjang, menatap secarik kertas yang berisi kebijakan yang ditandatanganinya sendiri beberapa bulan lalu.
Driyan: "Saya mengerti, Pak Rebo. Tapi program ini penting. Kita harus memastikan desa-desa punya ketahanan pangan sendiri, tidak terus bergantung pada kota."
Rebo: "Betul, Pak. Saya sepakat. Tapi BUMDes kami ini biasanya mengelola simpan pinjam dan wisata desa. Nggak ada yang paham pertanian. Masa saya suruh bendahara desa mendadak jadi petani?"
Driyan terdiam, mengangguk-angguk, lalu bergumam, "Masuk akal juga..."
Rebo: "Dan satu lagi, Pak Menteri. Kalau lahannya nggak ada, saya harus tanam di mana? Di atas genteng balai desa?"
Driyan tersenyum miris. Ia tahu banyak desa menghadapi masalah serupa. Kebijakan di atas kertas memang mudah, tapi kenyataan di lapangan sering jauh berbeda.
Driyan: "Mungkin bisa hidroponik? Atau kerja sama dengan desa tetangga yang punya lahan?"
Rebo: "Pak, kami ini desa kecil, anggaran terbatas. Hidroponik itu butuh modal awal. Kerja sama? Desa tetangga juga sama bingungnya, Pak!"
Driyan mengusap dahinya, merasa seperti menghadapi soal ujian yang jawabannya tak ada di buku.