Ada kegelisahan tersendiri ditengah komplesitas persoalan bangsa ini. Kegelisaan itu adalah kelangkaan analisis kelas dalam kajian NU dan kaum mudanya ditengah semakin kokohnya oligarki dalam mengkonsolidasikan kekuatannya. Di saat yang sama, semakin lemahnya kekuatan gerakan sipil progresif dalam melancarkan aksi-aski politiknya.Â
Kita bisa melihat itu dari kegagalan-kegagalan gerakan sosial menolak berbagai RUU tahun silam. Kegagalan itu membutikan, kekuatan oligarki kian kokoh, dan mereka telah menguasai berbagai sektor vital di bangsa kita. Di sektor ekonomi, politik dan kebijakan oligarki mampu mengintervensi.
Dikalangan NU, isu-isu toleransi dan keragaman sangat populer di gaungkan. Ini cukup penting demi menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa ini. Tapi kita masih sunyi dalam isu lingkungan dan konflik rakyat marginal perkotaan-pedesaan lainnya. Sementara kerusakan lingkungan, penggusuran dan perampasan ruang hidup yang membuat rakyat kecil semakin tersingkir dan terusir dari kehidupannya masih menjadi problem fundamental bangsa ini di banding isu-isu sosial-politik lainnya.
Problem ini, saya melihatnya sebagai problem kajian atau diskrusus dan muatan kaderisasi yang dikonsumsi. Begitu jarang mempelajari dan menggunakan analisis kelas dalam memandang berbagai permasalahan bangsa ini. Jikapun ada, itupun hanya sebatas pengetahuan untuk sekedar tahu. Jarang digunakan sebagai perangkat analisis terlebih sebagai gerakan politik kerakyatan.
Soal lainnya, analisis kelas masih distigma seperti aliran merah, tidak kontekstual, ketingggalan zaman, radikal, tidak moderat dan anggapan miring lainnya ketika dipelajari dan menjadi paradigma politik dikalangan anak muda NU.
Sehubungan masih di momen harlah—meski kelewatan tanggal yang cukup lampau—kader-kader PMII harus berani mengambil jalan ini, rela menjadi tidak populer ditengah banyak kader mengkonsumsi teori sosial populer, dengan menggunakan paradigma kelas sebagai perangkat analisis politiknya.
Kondisi bangsa ini jauh lebih penting dibanding popularitas karena trend intelektualitas. Tak penting dianggap ketinggalan zaman karena mengkonsumsi pengetahuan lama, karena yang jauh lebih penting adalah mengejar ketertinggalan untuk kemajuan peradaban bangsa kita yang lebih adil dan merata.