Mohon tunggu...
Abu Al Givara
Abu Al Givara Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya Menulis, Bukan Penulis

Jadilah pembelajar yang terus bersabar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kontekstualisasi Islam

29 Juli 2019   16:16 Diperbarui: 16 Februari 2023   11:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Abu Al-Givara

Islam sering dipahami sebagai agama yang sakral dimana kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Seluruh pesan yang disampaikan dalam teks islam dipahami sebagai suatu kebenaran mutlak dan menjadi rujukan bagi setiap memahami dan menyikapi persoalan dengan tidak lagi melihat kembali bagaimana sejarah turunnya dan juga tidak mengiinkorporasikan dengan kenyataan kekinian. Sebuah pemahaman seperti inilah yang menjadikan Islam tidak lagi bernilai fungsi sebagai agama yang penuh rahmat untuk semesta sebab mengabaikan kenyataan sosial yang dinamis-pluralis, bahkan Islam menghadirkan kenyataan baru bahwa Islam adalah ajaran kaku yang anti kebaruan dan selalu resisten terhadap kondisi sosial dan perubahan zaman.

Nashr Hamid Abu Zaid, salah satu pemikir Islam kontemporer mendekonstruksi sebuah pemahaman umum dengan membangun pengetahuan baru melalui hermeneutika agamanya, dengan melihat kembali teks sebagai sebuah kenyataan sejarah yang lahir dari kultur sosial arab dimana Islam dan Alquran diturunkan. Dari Hermeneutika teks agama inilah sehingga memberikan reartikulasi bahwa Islam harus dipahami sebagai agama yang perlu ditafsirkan kembali dengan menyesuaikan diri dengan kondisi sosial kekinian.

Nashr memberikan sebuah pengertian bahwa agama adalah Wahyu yang hadir dari realitas budaya, sehingga agama adalah produk kebudayaan masalalu. Dari agama adalah produk budaya inilah sehingga kebenaran Agama tidak lagi dimaknai sebagai kebenaran otentik dimana kebenaran terdahulu masih saja menjadi rujukan berpikir dan bertindak untuk menyikapi setiap kenyataan.

Tidak jauh beda dengan Muhammad Arqoun dalam buku Tuhan Tak perlu Dibela, sebuah tulisan yang di ambil dari Pemikiran yang di tulis oleh Kyai Abdurrahman Wahid. Dalam buku tersebut sempat menulis tentang bagaimana Muhammad Arqoun memberikan argumentasi tentang teks agama. Bahwa tesk agama adalah wacana oral atau risalah lisan yang di sampaikan oleh Nabi Muhammad kepada sahabatnya kemudian di kitabkan. Risalah lisan Rasulullah itu ialah bagaimana ketika Nabi berinteraksi dengan realitas sosial yang dihadapi kemudian pesan yang disampaikan selalu menyentuh persoalan sosial disekitarnya.

Dari pengertian itulah sehingga Islam sebagai agama berserta teksnya harus di tafsirkan kembali secara kondisional dan kontekstual. Pemahaman ini tidak menandakan bahwa Islam sebagai kenyataan masalalu hanya berlaku dimasalalu dan tidak lagi benar di era sekarang. Tetapi bagaimana menjadikan Islam tetap eksis dan terus relevan dalam setiap kondisi dan perubahan-perubahan zaman. Islam tidak boleh kaku, Islam harus terus hidup dalam kenyataan apapun dan dalam kondisi apapun sehingga untuk mewujudkan itu maka kontekstualisasi ajaran sangat di perlukan untuk menjadikan Islam tetap menjadi spirit dan motivasi untuk menciptakan kedamaian.

Tentu bukan tanpa alasan kenapa kita harus melakukan kontekstualisasi ajaran. Alasan mendasar adalah kehidupan kita dibenturan di tengah-tengah realitas yang majemuk dan dinamis, banyak perubahan-perbuhan sosial dimana Islam harus turun tangan untuk melihat dan menyikapinya. Sebuah kesalahan pertama dari umat Islam ialah mengabaikan kenyataan mereka berada dan memahami ajaran hanya berdasarkan teksnya semata, sehingga oleh sebagian masyarakat bahkan hanya dinilai membuat kegaduhan bukan malah membawa keselamatan.

Kesalahpahaman ini sudah banyak terjadi di antara umat Islam sendiri sehingga Islam tidak saja mengalami degradasi tapi juga dipahami oleh sebagian kelompok sebagai ajaran sering berkonflik dengan lingkungan dan tidak jarang yang menganggap Islam sebagai ajaran yang ekstrimis-radikalis. Kesalahpahaman ini terjadi akibat Islam dipahami sebagai ajaran yang statis, anti realitas dan kekinian sehingga segala persoalan selalu disikapi harus mengikuti hukum dimana Islam saat itu di turunkan dengan mengabaikan realitas.

Kita bisa melihat salah satu contoh di daerah Minang, dimana Islam hadir ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai adat dan kebudayaan. Kehadiran Islam bahkan dinilai mengancam adat dan kebudayaan masyarakat Minang yang sudah menjadi identitasnya. Ancaman itu ketika Islam hadir kemudian menyikapi adat istiadat sebagai salah satu ritual yang kufur, bid'ah yang harus dijauhi, sehingga mengalami benturan dan konflik antara kelompok Islam dan tokoh adat. Yang meskipun pada akhirnya kedua belah pihak antara islam dan tokoh adat melakukan rekonsiliasi berdamai dengan perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama yang didalamnya tentang "Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah" dalam bahasa minangnya. Dalam contoh itu, Islam hadir bukan menciptakan suatu ketenangan dimasyarakat tapi malah menimbulkan kegaduhan dengan kehadirannya padahal Islam di yakini sebagai Ajaran yang rahmatan Lil Al-Amin.

Kontekstualisasi ajaran diperlukan untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran dalam rangka menciptakan rahmat untuk alam semesta sehingga dalam setiap syiar dan dakwah harus sesuai dengan kondisi lingkungan dan kosmologi masyarakatnya, sebagaimana nabi Muhammad mengajarkan tentang "Khatibinnas 'ala Qadri 'ukulihim". Yang di maknai bahwa Islam dalam setiap memberikan pemahaman harus mengetahui kondisi lingkungan dan punya strategi penyebaran agar di terima masyarakat dengan damai. Cara seperti ini pernah di contohkan oleh walisongo disaat menyebarkan Islam di Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun