Mohon tunggu...
Abu Bakar Fahmi
Abu Bakar Fahmi Mohon Tunggu... -

writer, on being a social psychologist

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

I Love My Face(book): Jejak Narsistik di Profil Facebook Kita

13 Oktober 2010   09:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Facebook memberikan informasi kepada kita seberapa besar tingkat narsistik penggunanya. Pengguna Facebook meninggalkan jejak di profil Facebooknya sehingga kita bisa mengetahui seberapa narsis teman Facebook kita. Bagaimana caranya?

Akhir Mei 2010. Sejumlah remaja bersiap mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pendaftaran online dimulai. Mereka mengisi formulir pendaftaran online yang diminta panitia seleksi. Namun, ada masalah dalam proses pendaftaran. Sebanyak 1.500 peserta SNMPTN Semarang tidak memenuhi syarat pendaftaran. Masalah tidak bisa disebut kecil karena mereka harus mengisi ulang formulir pendaftaran online. Apa masalahnya? Saat mengisi formulir pendaftaran online, mereka menggunakan foto yang tidak sesuai ketentuan. Foto yang di-upload adalah foto mereka dalam pose santai. Seperti apa foto mereka sehingga harus mengisi ulang formulir pendaftaran online? “Foto-foto dengan berbagai macam gaya dan pose, ada berlatar belakang kebun, berfoto bersama temannya, bahkan ada foto rombongan,” ujar seorang panitia. Padahal, sesuai persyaratan pendaftaran SNMPTN online, foto peserta harus 80 persen tampak wajah dengan pose formal. Misalkan Anda ikut SNMPTN, untuk bisa lulus ujian, panitia tentu tidak perlu tahu seberapa bagus kebun di belakang rumah Anda atau seberapa akrab Anda dengan teman Anda, bukan?

Keadaan yang sama terjadi di Bandung. Sekitar 1.000 peserta SNMPTN di Bandung dianggap tidak memenuhi syarat karena kesalahan peserta pada foto yang diserahkan. Foto-foto tersebut tidak memenuhi standar karena dicomot dari akun situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter milik mereka. “Pantauan kami, foto yang di-upload persis sama seperti yang ada di Facebook dan Twitter. Foto tersebut bukan dokumen resmi dan akan merugikan peserta sendiri terutama pada saat verifikasi data oleh pengawas ujian di ruang ujian,” kata seorang panitia. Panitia menunjukkan foto-foto tersebut: ada foto peserta yang sedang bertopang dagu, ada foto hasil jepretan sendiri melalui ponsel sambil bercermin sehingga ponselnya terlihat, ada juga foto peserta sedang duduk menggunakan pakaian primitif lengkap dengan macan putih menemani di sampingnya. Mereka mungkin sudah terbiasa mengupload foto sehingga saat mereka sedang mengisi formulir pendaftaran online untuk masuk SNMPTN, yang terbayang seperti sedang mengupload foto di Facebook.

Saya tidak tahu alasan mereka mengirim foto yang tampak ‘aneh’ bagi panitia seleksi. Mungkin mereka memang benar-benar tidak punya foto formal. Mungkin mereka merasa foto yang mereka kirim bisa meningkatkan citra dirinya di hadapan panitia seleksi. Atau mungkin mereka merasa foto itu adalah foto terbaik yang mewakili wajah dirinya. Mungkin mereka mengirim foto tersebut karena hanya itulah foto yang mereka miliki.

Ya, mereka memiliki foto informal karena suatu kebutuhan yang membuat mereka harus memiliki, bahkan mengoleksinya. Tampaknya kita tidak punya alasan untuk tidak menuding berbagai situs jejaring sosial, yang sekarang sudah menjadi kebutuhan banyak orang, sebagai biang keladinya. Sebagai sebuah identitas di dunia maya, profil Facebook seseorang tidak akan mudah dikenali orang lain tanpa menyertakan foto diri di dalamnya. Facebook dan situs jejaring sosial lainnya seakan mendorong penggunanya untuk mengoleksi foto dirinya. Karena berkenalan dengan orang lain di Facebook tidak seperti menunjukkan KTP ke ketua RT, dan menggunakan Facebook tidak seperti mengikuti ujian SNMPTN, foto yang digunakan tentu foto diri dalam keadaan informal. Facebook dan situs jejaring sosial lainnya menciptakan kebutuhan atas foto diri informal bagi penggunanya, bahkan bagi orang-orang yang tidak terbiasa melihat foto dirinya sendiri. Jadi, saat para remaja peserta SNMPTN membutuhkan foto dirinya untuk mengisi pendaftaran online, tidak ada foto yang paling baru dan paling baik yang bisa digunakan selain foto dirinya yang biasa digunakan di Facebook. Sayangnya, foto dirinya di Facebook bukan foto formal. Gambar dirinya yang tampak santai tidak layak digunakan sebagai foto peserta di perhelatan serius semacam SNMPTN.

Kebutuhan untuk mengoleksi foto dirinya seakan mengkondisikan pengguna Facebook untuk menikmati foto dirinya. Lebih tepatnya, Facebook seperti menggiring pengunanya untuk menatap wajah dirinya. Karena kita tidak terbiasa menatap wajah kita selain di cermin, Facebook bisa diumpamakan sebagai cermin. Bahkan, Facebook lebih dari sekedar cermin. Facebook memungkinkan seseorang melihat gambar dirinya, mematut-matut diri, agar kekurangan dalam penampilannya dapat ditutupi. Jika dalam dunia nyata orang yang akan menilai penampilan dirinyaadalah orang yang ditemuinya secara fisik, dalam dunia maya orang yang akan menilai penampilan dirinya adalah pengguna Facebook yang dirinya sendiri mungkin sudah tidak bisa mengontrol mereka satu persatu. Dalam dunia maya, orang lain akan mungkin memberikan penilaian tentang penampilan kita secara langsung, bahkan dari orang yang tidak kita kenal sebelumnya. Facebook menjadi sarana bagi siapa saja untuk berkomunikasi dengan orang lain sekaligus mendapat umpan balik (feedback) dari mereka lebih cepat dibandingkan di dunia nyata.

“Facebook mengandung gaya komunikasi satu-ke-banyak, dimana informasi disajikan kepada orang lain dalam satu waktu. Dalam situs jejaring sosial, penggunanya adalah pencipta dari isi profilnya…Mereka juga menjadi bintang dari apa yang dihasilkannya sendiri di situs jejaring sosial,” begitu kata Tiffani A. Pempek, pengajar psikologi dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Ia memberikan contoh komentar pengguna Facebook berikut ini:

Saya menggunakan Facebook terutama untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang tidak sering saya temui atau saya ajak bicara. Facebook juga menjadi bentuk yang mudah dari komunikasi massa dalam menyebarkan informasi atau sesuatu, misalnya gambar.

Situs jejaring sosial sangat membantu dalam membangun jejaring. Myspace khususnya, adalah tempat dimana Anda bisa menjadi selebriti internet.

Sebagai bentuk komunikasi satu-ke-banyak, Facebook bisa meningkatkan popularitas penggunanya di hadapan orang lain. Seorang pengguna Facebook bisa sepopuler apapun yang dikehendakinya. Melalui situs jejaring sosial, mereka bisa menjadi selebriti yang diinisiasi oleh dirinya sendiri.

Pengguna situs jejaring sosial bisa mengupload foto pribadi, yang bahkan bisa sangat sensual sekalipun sehingga orang yang hanya melihat sekilas bisa tertarik kepadanya. Mereka bisa mengungkapkan pikiran dan perasaannya di dinding (wall) profilnya sehingga semua orang temannya bisa tahu hanya dengan membacanya. Mereka bisa meng-upload video pribadi—seperti acara infotainment yang dibuat sendiri. Mereka bisa menuliskan catatan pribadinya yang mungkin hanya sekedar gerutuan tidak penting bagi orang lain tapi sangat penting bagi dirinya—persis seperti acara infotainment yang menganggap semua sisi kehidupan selebriti layak diketahui oleh semua orang.

Apakah para pengguna situs jejaring sosial ingin menjadi selebriti? Atau apakah mereka ingin menunjukkan kelebihan dirinya di hadapan orang lain, yang dalam kadar tertentu bisa disebut dengan narsis?

Sementara kita tahan pertanyaan tersebut. Mari kita awali dengan lebih dahulu bertanya, apakah selebriti benar-benar narsis?

S. Mark Young dan Drew Pinsky dari University of Southern California ingin mengetahui tingkat narsisitik selebriti dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Dalam penelitian ini, selain para selebriti itu sendiri, mereka melibatkan sejumlah mahasiswa MBA dan masyarakat umum sebagai pembanding. Selanjutnya, mereka meminta para subjek mengisi sebuah alat ukur untuk mengetahui tingkat narsistik seseorang yang disebut Narcissistic Personality Inventory (NPI). Melalui NPI ini, kita bisa mengetahui seberapa tinggi tingkat narsistik seseorang. Jika Anda mengisi NPI dan setelah dihitung skornya ternyata Anda mendapatkan nilai yang tinggi, maka bisa dipastikan bahwa Anda adalah orang yang narsis, demikian juga sebaliknya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selebriti memiliki skor NPI yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa MBA. Selebriti juga memililiki skor NPI yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum. Selebriti perempuan menunjukkan tingkat narsistik yang lebih tinggi dibandingkan selebriti laki-laki. Kepribadian pelaku televisi realitas (seperti acara Indonesian Idol dan sejenisnya) memiliki tingkat narsistik yang paling tinggi, diikuti oleh pelawak, aktor dan musisi.

Dalam penelitian ini diketahui pula bahwa tingkat narsistik tidak berhubungan dengan lamanya seseorang terjun di dunia selebriti. Tidak ada hubungannya dengan seberapa lama selebriti itu menjadi bintang film atau vokalis group band, misalnya. Tampaknya para selebriti lebih dahulu memiliki pribadi narsistik sebelum mereka masuk ke dunia selebriti. Dengan kata lain, mereka memilih dunia selebriti karena itulah profesi yang cocok dengan kepribadiannya, ya narsis itu tadi.

Apa itu ‘narsis’? Kata ini sebenarnya cukup akrab di telinga kita. Sebegitu populernya, kata ini kerap dipakai dalam percakapan sehari-hari. Saya pernah memergoki sejumlah anak remaja di perpustakaan yang berbincang satu sama lain sambil memperlihatkan profil Facebook seorang teman mereka di sebuah notebook. “Wah ternyata dia narsis juga ya?” begitu kata seseorang dari mereka. Entah apa yang mereka lihat dalam profil Facebook temannya itu yang membuat mereka berkesimpulan bahwa temannya itu narsis. Mereka dengan wajar menyematkan kata tersebut kepada temannya itu. Tampaknya, kata ‘narsis’ ini makin populer seiring dengan popularitas situs jejaring sosial.

Karena begitu jauh rentang waktu awal penggunaan kata ‘narsis’, saya tidak bisa menyebut waktu tepatnya selain dengan menyebut konon. Ya, konon, ada seorang anak muda tampan bernama Narcissus. Mungkin karena merasa dirinya terlalu tampan, ia menolak cinta dari perempuan yang hendak menjadi kekasihnya, termasuk seorang peri bernama Echo. Karena sikapnya yang menolak cinta Echo, para dewa menghukumnya. Apa hukumannya? Narcissus jatuh cinta dengan bayangannya sendiri yang dilihatnya di dalam kolam. Tentu yang dilihat dalam kolam bukan siapa-siapa, hanya bayangannya sendiri. Walau mirip seperti orang, tak ada yang bisa dilakukan oleh bayangan, termasuk membalas cinta Narcissus. Karena orang yang dilihatnya di dalam kolam itu tidak bisa membalas cintanya, Narcissus merana sepanjang hidupnya. Dan karena tidak ada yang bisa mengakhiri kemeranaan hidupnya selain kematian, Narcissus akhirnya mati.

Dalam psikologi, narsis mula-mula digunakan sebagai gejala klinis, semacam gangguan kepribadian. Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis, menggunakan kata ini sebagai gejala abnormal berupa perilaku seksual yang berorientasi pada diri sendiri. Ia menyebutnya sebagai ‘ego-libido’ (cinta diri) atau ‘narcissistic libido’. Dalam perkembangannya, sifat narsis makin populer sebagai bentuk kepribadian dan perilaku sosial yang wajar. Kata ini makin akrab sebagai istilah dalam dalam psikologi sosial dan kepribadian. Kalangan psikologi sosial mengartikan narsis sebagai ciri kepribadian yang menggambarkan pengagungan dan peninggian konsep diri. Dalam ciri kepribadian ini terkandung perasaan diri yang memiliki otoritas dan superioritas yang tinggi, merasa memiliki kecukupan diri, suka mengeksplotasi (mengendalikan), suka menunjukkan kecakapan, juga kesombongan, dan merasa memiliki hak yang lebih tinggi. Sebagai sebuah perilaku sosial yang wajar, tingkat narsistik pada seseorangbisa diukur kadarnya dengan menggunakan NPI.

Yang jadi pertanyaan, apakah ada pengaruh antara tingkat narsistik pada seseorang terhadap kebiasaannya dalam menggunakan situs jejaring sosial?

Ternyata, tampilan Facebook yang pertama kali, saat masih baru digunakan oleh mahasiswa di Universitas Harvard, adalah tampilan narsis pembuatnya, Mark Zuckerberg. Di tampilan Facebook tersebut, Zuckerberg memasang foto dirinya. Jadi, siapa saja yang baru mau menggunakan Facebook atau hendak masuk (log in) ke profil Facebooknya, pasti akan lebih dahulu melihat gambar wajah Zuckerberg dengan senyumnya yang lebar. Apakah akan begitu juga dengan pengguna Facebook sekarang? Dalam arti, apakah perilaku pengguna Facebook bisa menunjukkan tingkat narsistik seseorang?

Penelitian yang dilakukan oleh Soraya Mehdizadeh dari Universitas York, Toronto, menunjukkan bahwa Facebook paling banyak digunakan oleh orang yang narsis dan orang yang memiliki citra diri (self esteem) rendah. Mereka menggunakan Facebook sebagai sarana untuk mempromosikan dirinya kepada orang lain. Yang kita peroleh dari penelitian Mehdizadeh, ternyata Facebook berguna bagi orang yang suka meninggikan citra dirinya, juga bagi mereka yang tidak begitu mahir membangun citra dirinya di dunia nyata. Facebook menjadi sarana yang menguntungkan bagi orang yang ingin populer dan ingin menonjolkan kelebihannya, juga bagi orang yang tidak bisa melakukan hal tersebut di dunia nyata.

Mehdizadeh meneliti perilaku berjejaring sosial dan kepribadian pada 100 pengguna Facebook berusia 18 sampai 25 tahun. Kepribadian yang dicari adalah seberapa besar tingkat narsistik dan citra dirinya. Hasilnya, mereka yang memiliki tingkat narsistik yang tinggi dan yang memiliki citra diri yang rendah lebih banyak menghabiskan waktunya di Facebook dan mengisi profil Facebooknya dengan muatan promosi diri. “Mereka meng-update statusnya setiap lima menit dan foto-foto yang di-upload adalah foto-foto yang dibuat dengan sangat hati-hati,” begitu kata Mehdizadeh.

Promosi diri dilakukan oleh pengguna Facebook melalui informasi yang diberikannya, baik secara deskriptif maupun visual, agar orang lain mengetahui kualitas atau hal-hal positif yang ada pada dirinya. Promosi diri dilakukan atara lain dengan ekspresi wajah dan perbaikan gambar (menggunakan software pengedit foto) yang bisa diakses di foto albumnya dan di “View Photos of Me”. Juga, menggunakan kata sifat yang positif, moto yang mengandung promosi diri, dan kutipan berupa kiasan pada “About Me”. Bisa juga promosi diri melalui Catatan (“Notes”). Termasuk juga dengan memposting hasil aplikasi Facebook misalnya, “Selebriti siapa yang mirip dengan saya” lengkap dengan pembandingan antara foto dirinya dengan foto selebriti yang mirip itu.

Dalam penelitiannya, Mehdizadeh menemukan perbedaan cara laki-laki dan perempuan dalam melakukan promosi diri di Facebook. Laki-laki lebih banyak mempromosikan dirinya melalui isian dalam “About Me” atau “Tentang Saya” dan melalui Catatan (Notes). Sedangkan perempuan lebih banyak mempromosikan dirinya melalui foto-foto yang di-uploadnya.

Dari penelitian Mehdizadeh kita mengetahui bahwa seseorang yang narsis akan meninggalkan jejaknya dalam bentuk promosi diri melalui isian “About Me”, Catatan, dan foto-foto yang dikoleksinya. Di mana lagi seseorang yang narsis akan meninggalkan jejak di profil Facebooknya? Dan apakah kita bisa dengan akurat menilai bahwa teman kita narsis hanya dengan melihat profil Facebooknya, sebagaimana dilakukan oleh para remaja di perpustakaan?

Beberapa peneliti ingin mengetahui, bagaimana orang-orang narsis meninggalkan jejaknya dalam situs jejaring sosial. Laura E. Buffardi dan W. Keith Campbell dari Universitas Georgia melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana perilaku narsistik seseorang terejawantah dalam profil Facebook mereka. Kedua peneliti ini juga ingin mengetahui seberapa akurat orang lain menilai tingkat narisistik seseorang hanya dengan melihat jejak yang ditinggalkan di Profil Facebooknya.

“Situs jejaring sosial, seperti MySpace dan Facebook menjadi sangat populer. Banyak orang yang mengirim informasi tentang diri mereka dan beberapa ahli psikologi ingin mengetahui bagaimana perilaku narsistik terejawantah dalam Facebook.” Begitu kata Buffardi. “Kita telah mengalami suatu perubahan sosial pada empat atau lima tahun terakhir dan sekarang hampir semua mahasiswa menjalin hubungan mereka melalui Facebook—sedikit orang yang lebih tua melakukannya.” Kata Campbell. “Ini adalah dunia sosial yang baru dimana kita baru mulai berupaya untuk memahaminya.”

Mereka meneliti tentang perilaku narisistik di situs jejaring sosial dengan lebih menempatkan narsistik sebagai ciri sikap atau perilaku, bukan sebagai gejala gangguan klinis. “Orang narsis adalah mereka yang berpikir bahwa mereka agak termasyhur… Mereka berpikir mereka lebih menarik, lebih cerdas, lebih unik dan berhak mendapat perlakuan khusus.” Begitu kata Buffardi. “Mereka suka mengawali suatu pertemuan, tetapi mereka kesulitan menjaga hubungan yang hangat dan akrab.”

Dalam melakukan penelitiannya, Buffardi dan Campbell mengikutsertakan 129 pemilik Facebook yang berusia antara 18 sampai 23 tahun. Masing-masing dari mereka datang ke laboratorium untuk mengisi NPI. Kemudian, setelah mendapat izin, halaman profil Facebook dari 129 mahasiswa itu disimpan untuk tujuan penelitian.

Buffardi dan Campbell dibantu oleh asisten peneliti yang akan menilai empat aspek dari 129 halaman profil Facebook. Keempat aspek itu yakni: isian dalam “About Me”, isian dalam “Quotes”, foto profil, dan 20 gambar yang terdapat dalam “View Photo of Me”. Misalnya, asisten peneliti akan menilai foto profil mereka: jumlah pakaian yang digunakan, sederhana (atau sebaliknya), menarik secara fisik atau tidak, apakah menunjukkan promosi diri, seksi, dan apakah fotonya menunjukkan kesombongan.

Kemudian, Buffardi dan Campbell mengikutsertakan 128 mahasiswa lain sebagai penilai. Mereka bertugas menilai tingkat narsistik dari 129 profil Facebook yang sudah disimpan sebelumnya. Masing-masing penilai akan menilai 5 profil Facebook yang ditentukan secara acak. Dalam tahap ini, peneliti memastikan bahwa penilai belum pernah mengenal pemilik profil Facebook yang akan dinilainya. Sedemikian hingga, orang yang sama sekali tidak mengenal pemilik profil Facebook itu diminta melihat-lihat profil Facebook dan menilai kesan mereka seberapa narsis pemilik profil Facebook itu.

Apa yang bisa kita dapat dari penelitan ini? Ada beberapa jejak yang ditinggalkan seorang yang memiliki tingkat narsistik di profil Facebooknya. Diantaranya:

1.Jumlah interaksi di Facebook.Seseorang yang memiliki nilai NPI yang tinggi adalah mereka yang memiliki tingkat interaksi yang tinggi pula di Facebook. Jumlah interaksi di Facebook dapat diketahui dari jumlah teman yang dimiliki dan jumlah postingan (wallpost) yang dikirim kepada temannya.

2.Promosi diri melalui “About Me”. Tingkat narsistik pemilik profil Facebook berhubungan dengan informasi yang mengandung promosi diri dalam “About Me”.

3.Promosi diri melalui “Quotes”. Pemilik profil Facebook yang memiliki tingkat narsistik tinggi berhubungan dengan tingginya kandungan promosi diri pada “Quotes” yang digunakan. Namun, pemilik profil Facebook yang narsis menggunakan kutipan yang kurang menarik dibandingkan dengan mereka yang kurang narsis.

4.Foto yang digunakan: menarik, mengandung promosi diri, seksi, dan lucu. Pemilik profil Facebook dengan tingkat narsistik tinggi dipandang lebih menarik secara fisik pada foto yang digunakan. Mereka juga lebih tampak seksi dan cenderung mempromosikan diri melalui foto yang digunakan. Walaupun tidak terlalu kuat hubungannya, pemilik profil Facebook yang narsis menggunakan foto yang lebih lucu dibanding yang tidak narsis.

Bagaimana dengan orang yang belum kenal yang menilai tingkat narsistik seseorang melalui kesan yang didapat di profil Facebook? Hasil penelitian Buffardi dan Campbell menunjukkan bahwa seseorang yang belum kenal dapat menilai tingkat narsistik pemilik profil Facebookdengan cukup akurat. Mereka menggunakan jejak yang ditinggalkan pemilik profil Facebook yang secara akurat berhubungan dengan tingkat narsistiknya, yakni jumlah interaksi sosial yang dijalin dan foto-foto yang digunakan: mengandung promosi diri, menarik, dan seksi.

Maka, jika ada seseorang yang mencantumkan foto dirinya di Facebook, dimana foto tersebut hasil jepretan sendiri melalui ponsel sambil bercermin sehingga ponselnya terlihat, maka cukup beralasan kalau orang lain akan menyebutnya narsis. Ia mematut-matut diri agar foto yang dihasilkan tampak menarik. Sayangnya, panitia SNMPTN tidak membutuhkan foto diri yang tampak menarik, apalagi dibuat-buat agar tampak menarik. Mereka hanya membutuhkan foto diri yang dapat dengan mudah dikenali.

Apa artinya ini? Maksudnya, apakah mengenal narsis tidaknya seseorang melalui profil Facebooknya benar-benar berguna?

Produser sinetron atau film atau reality show mungkin perlu tahu tingkat narsistik seorang calon pemain. Sepertinya mereka tidak perlu menyeleksi para calon pemain dengan menggelar casting yang memakan waktu. Mereka hanya perlu melihat-lihat apakah calon pemain cukup narsis di profil Facebooknya. Apakah calon pemain sering mengisi status di profil Facebooknya? Apakah calon pemain punya banyak teman di Facebooknya? Apakah calon pemain banyak memberikan komentar dan sapaan di profil Facebook temannya? Kemudian, apakah foto di albumnya atau foto di “View Photo of Me” tampak menarik atau mengandung promosi diri atau seksi? Jika ya, calon pemain layak terlibat dalam sinetron atau film atau reality show. Dari kepribadiannya, mereka mungkin bisa menjadi selebriti masa depan.

Lantas, apakah mengetahui narsis tidaknya seseorang berguna bagi kita dalam menjalin hubungan? Sepertinya kita perlu tahu apakah tingkat narsistik seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya sehari-hari. Jika itu berpengaruh, seberapa besar pengaruhnya? Lalu, sikap dan perilaku seperti apa?

Kepribadian narsistik memiliki karakteristik yang mengungkap sisi gelap dan terangnya sendiri. Menurut Buffardi dan Campbell, seorang yang narsis tidak terfokus pada keakraban interpersonal, kehangatan, maupun ciri hubungan positif lain, dalam jangka panjang. Tetapi, mereka sangat mahir dalam mengawali suatu hubungan dan menggunakan hubungan tersebut untuk mencari popularitas, kesuksesan, dan status yang tinggi dalam jangka pendek.

Buffardi dan Campbell menambahkan, kesukaan orang narsis dalam membangun hubungan berkaitan dengan kesukaannya dalam mengawali suatu interaksi, dipandang sebagai seorang pemimpin, dipandang mengasyikkan, percaya diri, menghibur, dan mampu mendapatkan pasangan hidup. Namun, orang narsis dihubungkan dengan ketidakmampuannya dalam mencari atau menciptakan hubungan jangka panjang yang mengandung kedekatan, empati, dan kehangatan emosional. Orang narsis juga dipandang menggunakan hubungannya sebagai kesempatan untuk meningkatkan citra dirinya, yakni bagaimana agar dirinya tampak sepositif mungkin di hadapan orang lain. Misalnya, mereka suka membual dan menunjukkan kelebihan diri di hadapan orang lain. Dalam jangka panjang, orang lain yang berhubungan dengan orang yang narsis sering merasa menderita karena sikap dan perilaku orang narsis yang agresif dan memiliki tingkat komitmen yang rendah atau tidak setia.

Mengetahui tingkat narsistik calon pekerja bisa menjadi masukan awal yang berguna bagi pewawancara kerja. Orang dengan kepribadian seperti apakah yang cocok untuk menempati posisi di perusahaannya? Jika Anda diminta mencari calon pekerja yang mudah mengawali perkenalan, menarik, percaya diri, dan menyenangkan, tepat kiranya jika Anda mencari orang yang memiliki tingkat narsistik yang tinggi. Jika Anda mencari calon pekerja yang berkerja di balik layar dan tidak banyak berhubungan dengan orang lain, tapi Anda mengundang calon pekerja yang memiliki tingkat narsistik tinggi untuk suatu wawancara kerja, tampaknya Anda telah menyia-nyiakan waktu Anda.

Bagi Anda yang sedang menjalin perkenalan dengan lawan jenis, mengetahui tingkat narsistik yang bersangkutan bisa dilakukan dengan melihat profil Facebooknya. Seberapa besar kadar narsistik yang ada padanya yang meyakinkan Anda bahwa dia adalah lawan jenis yang tepat untuk Anda? Seberapa besar kadar narsistik yang ada padanya yang meyakinkan Anda bahwa dia adalah calon pasangan Anda dan bisa diajak serius menjalin hubungan lebih lanjut?

Bagi Anda yang sedang menjalin hubungan serius dengan calon pasangan Anda, profil Facebooknya bisa memberikan informasi yang berarti bagi Anda. Setelah mengetahui seberapa tinggi tingkat narsistiknya, apakah Anda benar-benar yakin dengan calon pasangan Anda itu?

Ribuan calon peserta berbondong-bondong mengisi formulir pendaftaran online. Banyak di antara mereka melakukan kesalahan dalam melampirkan foto. Panitia tidak membutuhkan foto mereka yang paling menarik. Panitia hanya perlu yakin bahwa antara calon peserta dan foto yang tercantum benar-benar sama. Namun, ini tidak dibaca oleh ribuan calon peserta. Mereka mengirim foto yang dipakai di Facebook sebagai foto peserta. Panitia dibuat kelimpungan, pusing tujuh keliling. “Kami terus melakukan sosialisasi dengan cara menelepon dan meng-SMS peserta untuk memperbaiki foto,” begitu kata seorang panitia. Sayangnya, upaya perbaikan foto yang dilakukan panitia tidak bisa menjangkau semua peserta. Di hari ujian yang sudah dijadwalkan, seorang pengawas mendapati, ada peserta ujian menggunakan foto yang lebih pantas jika dimuat di profil Facebook.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun