Mohon tunggu...
Abu Fathan
Abu Fathan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Abu Fathan adalah nama pena saya. Fathan saya ambil dari nama depan anak pertama saya. Nama asli saya Badiatul Muchlisin Asti. Pernah menekuni dunia jurnalistik sebagai Jurnalis, Redpel, dan PimRed; menulis lebih dari 40 buku dan diterbitkan oleh beberapa penerbit di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Solo; menyunting puluhan buku; mengisi pelatihan dan event kepenulisan dan jurnalistik; owner Oase Qalbu Group, Ketua Umum Yayasan Mutiara Ilma Nafia, dan Ketua Umum JPIN Pusat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membangun Tradisi Membaca, Kunci Utama Menjadi Penulis Buku

9 Juni 2012   06:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:12 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_193565" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber ilustrasi: dua3empat.blogspot.com"][/caption] “Saya ingin menjadi seorang penulis buku yang sukses? Langkah apa yang harus saya lakukan pertama kali?” Terlebih dahulu, jawab saya, yang harus Anda bangun dalam hidup Anda adalah tradisi membaca yang kuat. Tanpa ini, kata saya lebih lanjut, maka hampir dipastikan jalan untuk menjadi penulis buku yang sukses akan sia-sia.

Logikanya sederhana, menulis buku tentu berhubungan dengan banyak hal yang berbasis pada ilmu, informasi, dan pengetahuan. Dan kesemua itu hanya bisa diperoleh dari hasil kerja membaca, baik membaca dalam arti tekstual seperti membaca buku,atau pun membaca dalam arti kontekstual seperti membaca alam atau peristiwa kehidupan.

Ada sebuah teori sederhana yang bisa menjadi bahan untuk menjelaskan pentingnya “membaca” (sebagai proses menyerap ilmu dan informasi) sebagai kunci bagi seseorang yang ingin menjadi penulis buku. Teori itu adalah “teori kendi”.

Pernahkah Anda melihat kendi? Benda yang sederhana dan terbuat dari tanah liat yang dibakar itu ternyata menyimpan sebuah teori yang sangat penting, khususnya mengenai menulis buku.

Sebuah kendi, ada kalanya diisi air. Namun, kadang juga airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu akan tumpah airnya seandainya dimasuki air terus-menerus. Lalu apa hubungannya antara kendi dengan menulis buku ?

Menulis buku pun tidak jauh berbeda dengan kendi. Diibaratkan kendi itu adalah tubuh manusia. Seseorang yang jenius sekalipun tidak akan bisa menulis buku kalau tak pernah memberi “air” dalam “kendinya”. Air itu adalah ilmu, pengetahuan, data, informasi, pengalaman, pengamatan, dan lain-lain. Tentu kita tidak akan bisa menulis buku tentang “pendidikan seks Islami”, misalnya, apabila kita tak pernah menyerap ilmu, pengetahuan, informasi, tentang hal itu.

Serupa dengan teori kendi adalah “teori ember” yang dikemukakan oleh YB. Mangunwijaya. Dalam wawancara dengan majalah sastra Horison (XXI/365-367) YB. Mangunwijaya mengatakan yang intinya adalah, bahwa penulis itu ibarat ember yang penuh berisi air.Jika ember ini diisi air lagi, pasti ada air yang akan luber. Penulis diandaikan penuh (secara relatif) oleh pengetahuan, apa pun itu. Kalau ia “diisi” (dalam arti membaca) pasti lama-lama akan ada “luber”, maksudnya dibagikan kepada khalayak ramai melalui karya tulisan.

Untuk itu, tradisi membaca memang merupakan tradisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang calon penulis buku. Seorang penulis (buku) yang baik tentu adalah juga seorang pembaca (buku) yang baik pula. Karena seorang penulis buku haruslah seorang yang kaya wawasan. Menulis buku berarti memberi informasi atau wawasan kepada masyarakat. Sehingga seorang penulis buku haruslah “lebih pandai” dari pembacanya.

Dengan tradisi membaca pula, banyak pengetahuan yang akan didapat dan wawasan pun akan kian luas membentang. Pengetahuan yang banyak dan wawasan yang luas adalah “bahan baku utama” yang siap “dimasak” menjadi aneka buku yang akan dinikmati masyarakat. Dengan banyak membaca pula seorang penulis akan selalu produktif menghasilkan karya dan tidak akan kehabisan ide.

Rasanya bukan merupakan kebetulan bila hampir semua (untuk tidak menyebut semua) penulis buku (atau non-buku) adalah memiliki tradisi atau paling tidak memiliki hobi membaca yang kuat.

Mohammad Fauzil Adhim

[caption id="attachment_193567" align="alignleft" width="300" caption="Sumber ilustasi: elkaferani.multiply.com"]

1339222349268853739
1339222349268853739
[/caption] Sebut saja Mohammad Fauzil Adhim sekadar sebagai contoh. Penulis yang populer sebagai “penulis spesialis pernikahan” (sekarang penulis buku-buku parenting) ini adalah seorang pembaca buku yang kuat. Ketika kecil Fauzil diperkenalkan ibunya bacaan-bacaan menarik, hingga membuat Fauzil jadi keranjingan membaca. Buntutnya, pada usia sekolah dasar, Fauzil bahkan sudah tak mau lagi membaca majalah anak-anak. Bacaannya saat itu adalah buku-buku yang terhitung berat untuk anak seusianya, misalnya buku-buku filsafat dan sejenisnya. Majalah-majalah berita, semisal Tempo dan Panji Masyarakat, menjadi pilihannya.

Tak hanya itu, ia pun melahap kitab-kitab agama lain, seperti Injil dan telaah-telaah kitab Wedha. Alhamdulillah, ada sang kakek yang mengarahkan apa yang dibaca cucunya itu. Sehingga Fauzil tak bingung dan terjerumus pada pikiran-pikiran yang ada pada bacaan ‘kelas beratnya’.

Kegemaran atau kegilaan membaca pada masa kecil itulah, rupanya yang kelak memberi manfaat terhadap proses menulisnya. Keakrabannya dengan buku, menjadikan tulisannya mengalir dan gagasannya tertuang rapi.

Debut kepenulisan Fauzil yang lahir 29 Desember 1972 di Mojokerto, Jawa Timur ini dimulai sejak SD kelas V. Saat SMP, sudah bisa membuat cerpen. Cerpennya pertama dimuat di Koran Surabaya Minggu dengan judul Melewati Kabut Cinta.Buku pertama Fauzil terbit ketika ia masih kuliah di semester empat. Judulnya Mengajar Anak Anda Mengenal Allah (1994) yang diterbitkan Mizan. Buku keduanya berjudul Mendidik Anak Menuju Taklif terbit tahun 1996 oleh penerbit Pustaka Pelajar. Setahun kemudian, muncul bukunya yang best seller berjudul Kupinang Engkau dengan Hamdalah. Hingga kini Fauzil sudah menulis lebih 20 judul buku, hampir semua tentang pendidikan anak dan keluarga. Dan rata-rata menjadi best seller.

Ahmad Thohari

[caption id="attachment_193568" align="alignright" width="300" caption="Sumber ilustasi: Jogjanews.com"]

13392224101372556121
13392224101372556121
[/caption] Contoh lainnya adalah Ahmad Thohari. Sastrawan kelahiran Tinggarjawya Kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1942 ini juga dikenal suka membaca. Sejak kecil Thohari sudah terbiasa membaca koran sebelum masuk Sekolah Dasar. Ia juga suka membaca komik-komik wayang. Ketika duduk di bangku SMP, ia sudah melahap buku-buku novel klasik Indonesia seperti: Belenggu, Atheis, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Azab dan Sengsara, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan lain sebagainya.

Kegemaran Thohari membaca itulah yang kelak juga menjadi basic ia menjadi penulis (fiksi/novel) yang sukses. Nama Ahmad Thohari sebagai penulis sastra saat ini tidak hanya dikenal masyarakat Indonesia saja, tapi juga masyarakat Internasional.

Trilogi novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1984), dan Jantera Bianglala (1985) telah diterjemahkan dalam 5 bahasa dunia. Karya-karya Thohari lainnya, Di Kaki Bukit Cibalak (1979), Kubah (1981), Bekisar Merah (1992) telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Selain novel, peserta International Writing Program Iowa, USA, tahun 1969, dan mantan Redaktur Amanah (1986-1993) ini juga melahirkan kumpulan cerpen semisal Senyum Karnyamin, juga kumpulan kolom antara lain Berhala Kontemporer, Mas Mantri Menjenguk Tuhan, Mas Mantri Menggugat, serta Kamus Dialek Banyumas-Indonesia. Dan masih banyak karya Ahmad Thohari yang lain.

Al-Chaidar

[caption id="attachment_193570" align="alignleft" width="300" caption="Sumber ilustasi: tempointeraktif.com"]

1339222456972157707
1339222456972157707
[/caption] Contoh lainnya lagi adalah Al-Chaidar. Penulis buku yang cukup produktif ini, sejak kecil juga “gila” membaca. Sejak SMP, Chaidar yang kelahiran Lhokseumawe, Aceh, 22 November 1969 itu sudah gemar membaca buku-buku berat seperti filsafat. Di sekolah menengah pertama itu ia sudah lahap membaca buku-buku karya Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, maupun Fazlurrahman. Ketika duduk di bangku SMA, minat baca Chaidar semakin menggila. Buku-buku seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) karya Tan Malaka dan buku Das Kapital karya Karl Marx begitu lahap disantapnya. “Kegilaan” membaca itu pula kelak yang mengantarkan Chaidar dikenal sebagai penulis buku produktif.

Ketika SMP, Al-Chaidar sudah membuat album puisi sendiri. Bahkan ketika kelas II SMP, Chaidar sudah berani melempar tulisannya ke majalah Prisma, majalah dengan tulisan-tulisan berat yang dikenal sebagai standar prestise para intelektual Indonesia. Kendati tulisannya hanya dimasukkan dalam rubrik “komentar dan kritik”, tak urung itu membuatnya senang dan semakin aktif menulis. Kebiasaan menulis itu dilanjutkanke berbagai koran daerah seperti harian Analisa, Bukit Barisan, dan Waspada.

Sekarang, peneliti di Lembaga Studi Pengkajian Etika dan Usaha (LSPEU) ini masih rajin menulis artikel di media massa nasional, selain itu juga menulis banyak buku. Banyak buku yang telah lahir dari “tangan kreatif” Al-Chaidar. Di antaranya, tahun 1998 Chaidar menelorkan buku berjudul Reformasi Prematur. Tak terpaut lama, muncul buku-buku yang lain yang ia luncurkan tepat waktu. Bukunya berjudul Wacana Ideologi Negara Islam, Aceh Bersimbah Darah muncul setelah kasus DOM Aceh mulai terkuak. Bahkan bukunya Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-partai Islam dan Partai Sekuler muncul menjelang kampanye Mei 1999. Karya lainChaidar adalah Pengantar Politik Kartosoewiryo, Federasi atau Disentegrasi (2000), NU, ICMI dan DI, Islam Kultural Islam Politik Islam Radikal di Medan Laga Politik Indonesia (2000), dan lain-lain.

Harap diketahui, semua buku yang ditulis Chaidar disertai catatan kaki yang cukup lengkap dari berbagai bahasa. Itu pun dikerjakan dengan memakan waktu rata-rata satu bulan.Menurut Zulkarnaen, editor buku-buku Chaidar, rata-rata buku Chaidar mengalami cetak ulang 6 kali. Bahkan buku Chaidar berjudul Pengantar Politik Kartosoewiryo dalam tempo singkat, yakni 2 minggu, sudah cetak ulang tiga kali.

***

Tentu, masih ada banyak contoh lagi yang sebenarnya bisa saya sebut di sini. Tapi cukuplah tiga penulis di atas menjadi contoh, betapa tradisi membaca yang kuat telah mengantarkan mereka menjadi penulis yang sukses dan diperhitungkan.

Nah, Anda pengin menjadi penulis sukses? Bila Anda belum suka membaca, saatnya Anda mulai membangun tradisi membaca yang kuat dalam hidup Anda. Kelak, kendati Anda tak bisa menjadi penulis sukses pun, tradisi membaca yang telah Anda bangun tak akan membuat Anda rugi. Bahkan malah akan membuat hidup Anda semakin bermakna. Percayalah!***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun