Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melawan Oligarki: Diplomasi Makan Siang Jokowi

26 Desember 2015   02:24 Diperbarui: 26 Desember 2015   03:09 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita semua tahu, kosa kata "blusukan" dalam kehidupan politik kita dipopulerkan oleh Jokowi. Sampai-sampai media asing pun ikut mengutipnya. Blusukan yang bahasa Jawa itu artinya kurang lebih masuk-masuk atau keluar masuk ke tempat-tempat yang tidak biasa dikunjungi orang atau pejabat. Blusukan menjadi trade mark Jokowi ketika menjabat sebagai walikota Solo. Juga dalam waktu singkat ketika menjabat sebagai Gubernur DKI. Tujuannya tiada lain untuk bertatap muka langsung dengan rakyat, mengkomunikasikan kebijakan pemerintah, dan sekaligus memonitor pelaksanaan program serta menangkap aspirasi masyarakat.

Sebagai Presiden, kebiasaan ini dilanjutkan tetapi tidak se intensif sebelumnya karena waktu dan kesibukan presiden sebuah negeri berpenduduk 250 juta orang ini, dengan segala persoalannya, tidak memungkinkannya untuk setiap kali meninggalkan kantor kepresidenan.

Sebagai gantinya, meski masih tetap mempertahankan blusukan secara terbatas, presiden Jokowi bukan mendatangI rakyat tetapi mendatangKAN rakyat dan membawanya ke istana untuk berdialog sambil makan siang. Tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kelompok masyarakat diundang ke istana silih berganti guna mendengarkan keluhan, saran, kritik, dan laporan secara langsung dan informal. Dari tukang ojek, pelawak, pedagang pasar, sampai ekonom, intelektual, dan budayawan.

Dalam sistem demokrasi di negeri ini, kita memilih presiden, wakil presiden, gubernur, walikota, dan bupati sekali dalam lima tahun dan memberi mandat kepada yang terpilih untuk mengurus negeri ini sebagai penyelenggara negara. Pada tingkat legislatif, kita mempraktikkan sistem demokrasi perwakilan dengan memilih anggota DPR/D dan DPD sebagai wakil kita sekali lima tahun dengan harapan mereka akan memperjuangkan aspirasi yang memilih mereka. Namun, seperti kita saksikan, pada kenyataannya apa yang terjadi sering kali tidak sesuai dengan harapan kita.

Karena anggota DPR/D harus terdiri dari anggota partai politik, yang terjadi mereka sering lebih loyal kepada partainya daripada kepada rakyat yang diwakilinya. Janji-janji kampanye dilupakan sampai lima tahun kemudian ketika janji-janji baru dibuat lagi.

Lebih gawat lagi, di negeri kita, partai-partai ini dikendalikan oleh segelintir orang yang membiayai dan menguasai partai dan sebagian lagi yang merasa memiliki partai itu karena dia yang pertama kali mendirikannya. Inilah yang sering disebut sebagai oligarki yakni sekumpulan orang berkuasa yang berkehendak mengendalikan penyelenggaraan negara lebih demi kepentingan diri atau kelompoknya. Dalam prosesnya, oligarki memasukkan beberapa pihak diluar partai politik yang dianggap dapat memperkuat kumpulannya.

Jokowi Outsider
Benar bahwa Jokowi adalah anggota dan maju sebagai calon presiden karena diusung oleh PDIP. Tetapi Jokowi sebenarnya adalah orang luar (outsider) di partainya. Jokowi sebenarnya tidak sungguh-sungguh punya partai seperti beberapa presiden sebelum ini yang merupakan pimpinan partai. Ia terpilih bukan semata karena orang partai tetapi karena figurnya yang disukai pemilih. Tidak berlebihan bila dikatakan Jokowi unggul dalam pilpres lebih karena dukungan publik non partai melalui relawan dan media sosial.

Jokowi pada hakikatnya tidak punya partai. Dan dia sadar tentang hal ini. Bahkan apa yang disebut sebagai partai politik pengusung dan pendukung utamanya yakni PDIP, belakangan justru berperilaku bak partai oposisi dengan mengancam memakzulkannya bila dia tak patuh pada perintah partainya untuk mencopot menteri BUMN.

Jokowi juga sadar bahwa dukungan politik tak mungkin diabaikan dalam sebuah sistem demokrasi. Karenanya dia perlu berbaik-baik dengan anggota oligarki karena mereka umumnya adalah para bos partai. Sampai batas tertentu, Jokowi berhasil. Satu persatu pimpinan parpol di negeri ini yang kekuatannya banyak bergantung kepada porsi kekuasaannya di eksekutif, datang menemui Jokowi menawarkan dukungan dengan imbalan kursi menteri.

Namun demikian, dukungan demikian sangat rapuh karena Jokowi tidak sepenuhnya bisa mengendalikan parpol pendukungnya. Sewaktu-waktu para bos partai ini bisa memainkan kartunya menekan Jokowi untuk maksud-maksud yang tak terduga. Karenanya Jokowi sadar bahwa dia harus punya dukungan alternatif. Apa itu? Dukungan publik secara langsung. Dan ini sudah terbukti sukses dalam beberapa kasus seperti ketika beliau menghapuskan subsidi BBM, membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebaga Kapolri, menghentikan berlanjutnya kriminalisasi KPK dengan memindah tugaskan kepala Bareskrim Budi Waseso, dan terkahir membuat Setya Novanto turun dari kursi ketua DPR. Pada saat-saat ada kebijakan prinsipil yang tidak bisa dikompromikan, oligarki harus dilawan. Dukungan serta tekanan publik dan media harus digalakkan guna mengalahkan subyektifitas partai yang pada ujungnya juga tidak bisa mengabaikan kehendak publik yang terang benderang.

Dengan caranya sendiri yang kadangkala disalah tafsirkan, Jokowi tidak mau mengartikan demokrasi sekadar sebagai kedaulatan partai. Dalam debat pilpres dia jelas mengatakan bahwa "demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya". Dan inilah yang dilakukannya ketika berkali-kali menghadapi tekanan oligarki. Diplomasi blusukan dan makan siang salah satu caranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun