Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Pilkada DKI

22 Oktober 2016   08:48 Diperbarui: 22 Oktober 2016   09:48 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh: Abdillah Toha

Rasanya baru pertama kali sejak reformasi bergulir 18 tahun yang lalu ada pemilihan kepala daerah yang menjadi perhatian hampir seluruh Indonesia. Bukan hanya perhatian, tetapi di beberapa daerah yang warganya tidak punya hak pilih,  sebagian warganya ikut  terlibat secara emosional dalam aksi-aksi menolak salah seorang calon kepala daerah DKI. Itulah yang terjadi saat ini pada pilkada DKI yang prosesnya baru saja dimulai dengan terdaftarnya tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur belum sebulan yang lalu. Ada apa? Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Kurang dari sebulan yang lalu pada tanggal 24 September, saya menulis disini dengan judul "Selamat Untuk Jakarta". Tulisan itu saya buka antara lain dengan mengatakan "Dalam pemilihan umum tidak jarang kita dihadapkan untuk memilih yang kurang buruk dari yang buruk-buruk. Kita ucapkan selamat kepada warga Jakarta karena beruntung diberi pilihan diantara yang bagus-bagus. Ini pun membesarkan hati karena berarti bahwa proses demokrasi setidaknya di ibukota negeri kita menunjukkan kemajuan yang menggembirakan."   (http://m.kompasiana.com/abto/selamat-untuk-jakarta_57e58347f97a614840fe9201)

Tiga hari kemudian pada tanggal 27 September, dalam kunjungannya ke Pulau Seribu, Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah keseleo lidah dengan menunjuk ayat Quran tertentu yang kemudian ditangkap oleh sebagian muslim sebagai penistaan terhadap buku suci umat Islam. Sejak itu timbul beragam reaksi keras dan diluar akal sehat, bahkan sampai pada ancaman untuk menghabisi nyawa petahana.

Walaupun banyak warga Jakarta lain yang beranggapan bahwa Ahok sebagai politisi tidak sebodoh itu untuk menyakiti hati warga Jakarta yang mayoritas muslim, dan bahwa Ahok sebenarnya tidak bermaksud menista Quran, dan bahwa dia akhirnya juga sudah meminta maaf, namun tetap saja sebagian warga muslim menuntut agar Ahok diadili serta mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras dan mengancam dalam demo-demo dan siaran media yang digerakkan oleh tokoh-tokoh agama tertentu yang biasa berbicara keras. Ahok sendiri saya yakin menyesal dan telah menarik pelajaran berharga atas kebiasaan buruknya ceplas ceplos tanpa pikir panjang yang berdampak panjang.

Yang lebih aneh lagi demo-demo dan berbagai pernyataan keras ini tidak terbatas di ibukota tetapi sudah menjalar ke berbagai kota besar lain yang warganya tidak punya hak memilih kepala daerah DKI. Seakan pilkada DKI kali ini sama dengan pemilihan presiden RI. Seakan nasib seluruh bangsa akan ditentukan oleh siapa yang terpilih sebagai gubernur baru DKI.

Pernyataan-pernyataan keras itu pula yang barangkali menginspirasi kenekatan seorang anak muda untuk menyerang kantor polisi dan melukai beberapa polisi di Banten beberapa hari yang lalu.

Karenanya, tidak terlalu salah bila kita bertanya apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah ini persoalan pilkada DKI saja atau lebih besar dari itu? Apakah sasaran para oposan dari kelompok muslim garis keras itu agar Ahok tidak terpilih sebagai gubernur DKI atau ada tujuan lain yang lebih luas yang harus diwaspadai oleh aparat? Apakah demo-demo itu tulus dalam rangka menggunakan hak berunjuk rasa dalam demokrasi atau apakah ada penyusup-penyusup dari kelompok yang bertujuan memecah belah bangsa dengan isu SARA? 

Sejauh ini para pesaing dalam pilkada ini semuanya telah bergiat memperkenalkan diri mereka tanpa memanfaatkan sentimen suku, agama, dan ras. Mereka semua maju dengan mengemukakan program yang dipromosikannya sebagai lebih baik dari prestasi petahana. Kritik yang disampaikan terhadap petahana masih dalam batas etika dan moral. 

Lalu siapa sebenarnya yang menggiring pilkada DKI kali ini ke ranah nasional dengan sentimen primordial? Apakah gerakan-gerakan itu sifatnya sporadis dan akan berhenti sampai disini karena memang tidak mendapat dukungan luas masyarakat, atau di hari-hari dan minggu-minggu mendatang akan makin meluas? Apa kira-kira dampaknya terhadap NKRI dan kehidupan demokrasi kita? Bukankah hiruk pikuk SARA ini juga akan berpengaruh negatif terhadap upaya pemerintah dalam menggalakkan investasi dari dalam dan luar negeri?

Semua ini barangkali sudah menjadi perhatian pemerintah namun jika belum, maka saatnya pemerintah dan kita semua waspada jangan sampai nanti lepas kendali dan ada kekuatan-kekuatan tertentu yang akan memanfaatkan hiruk pikuk ini dan yang dampaknya bisa mengganggu kehidupan bernegara dan ketenteraman batin warga negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun