Ketika membaca suatu tulisan yang berjudul "Medicine is not always found in bottle, tablets, or vaccine" Â yang dikirim seorang teman, sontak pikiran melayang ke pengalaman masa lalu ketika berkunjung ke Negeri China yang juga kondang disebut dengan Negeri Tirai Bambu dan Negeri Panda.
Obat bukan hanya yang ditemukan dalam kemasan botol, berupa tablet atau pun vaksin lebih kurang begitu terjemahan bebasnya.
Pada umumnya obat dipahami sebagai bahan baik alami maupun buatan  dari bahan kimia. Digunakan dan bermanfaat untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Namun dipahami juga seperti "obat kuat", vitamin, yang manfaatnya untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat, dan bugar.
Kesempatan untuk menginjakkan kaki melihat-lihat alam yang mempesona di tanah Tiongkok datang lewat penugasan dari kantor untuk mengikuti suatu workshop tentang pendidikan dan Kesehatan di tahun 1991.
Tentu saja waktu-waktu luang di sela-sela kesibukan workshop tidak kami lewatkan begitu saja. Berburu cinderamata, kulineran, atau membidik destinasi wisata terutama Tembok Besar yang terhisab sebagai salah satu keajaiban dunia.
Hari Minggu itu acara bebas. Segera beberapa teman rombongan Indonesia sepakat mengunjungi "The Great Wall".Tembok sepanjang
10.000 Li. Kalau disetarakan lebih kurang 21 km yang berlokasi di China bagian utara. Merupakan tembok terpanjang yang pernah dibangun manusia.
Saat kami berkunjung ada  bagian yang memang sengaja dibuka sebagai destinasi wisata. Ada Hal unik yang kami lihat di sana. Tembok itu berdiri kokoh karena memang berfungsi sebagai  benteng. Konon itu atas perintah Kaisar Qin Shi Huang, kaisar pertama Tiongkok untuk menangkal serangan bangsa  dari Utara. Bangunan ini membentang dari pelabuhan Laut Cina Shanhaiguan hingga ke barat yakni ke provinsi Gansu  melindungi beberapa area strategis.
Jalan di atas Tembok itu cukup lebar. Dibuat dari bongkahan batu yang tebal dan keras. Bagian yang dibuka itu menanjak. Lumayan juga membuat napas sedikit tersengal menapakinya.
Ketika kami sedang berjuang dengan napas ngos-ngosan, tiba-tiba dari belakang menyusul dua orang, seorang biksu dan seorang biksuni. Mereka melewati kami dengan langkah ringan. Wajahnya memerah, segar dengan senyum ramah tersunging di sudut bibirnya. Dengan sekejap mereka sudah jauh meninggalkan kami dan sampai ke bagian tertinggi.
Setelah beberapa lama kami pun sampai juga di puncak benteng itu. Kami melihat kedua pendeta itu sedang duduk dengan sikap khusu  bermeditasi. Nampak jelas mereka tenggelam dalam keheningan menyatu dengan alam semesta.
Tak berapa lama keduanya berdiri. Kami mendekat sambil menyapa santun dengan mengucapkan halo. Tak disangka sang biksu membalas sapaan kami juga dan menanyakan dari mana kami berasal dengan bahasa Inggris yang cukup fasih.