Apa itu manusia? Makhluk berakal? Benarkah demikian? Apa bedanya manusia dengan makhluk yang lain, terutama dengan apa yang disebut sebagai hewan?
Pertanyaan ini adalah dasar pertanyaan sebelum saya hendak mendekonstruksi (menggugat) istilah "manusia sempurna" yang sering diucapkan orang-orang. Manusia yang sempurna itu yang bagaimana? Benarkah apa yang selama ini disebut sebagai manusia sempurna itu benar-benar manusia yang sempurna?
Dalam benak umum, manusia yang sempurna sering digambarkan sebagai manusia yang baik, mulai dari lakunya, tutur katanya, juga fisiknya. Intinya, manusia yang sempurna sering dihubungkan dengan segala sesuatu yang bajik. Beberapa orang ada juga yang menggambarkan manusia yang sempurna seperti malaikat; raganya manusia, rupawan, dan jiwanya jiwa malaikat, penyabar, sopan, santun, tidak mengikuti hawa nafsu, dan sebagainya.
Dari penggambaran inilah gugatan ini saya ajukan. Kata 'sempurna' yang dilekatkan pada frasa/istilah 'manusia yang sempurna' saya kira tidak tepat. Nilai-nilai 'sempurna' dalam penggambaran manusia sempurna yang selama ini dikonsepsikan agaknya tidak sesuai dengan sifat-sifat dasar manusia itu sendiri.
Sebelum beranjak lebih jauh, saya ingin menyatakan bahwa saya setuju dengan pandangan yang mengklasifikasikan manusia ke dalam golongan hewan. Manusia adalah hewan. Ketika lapar, manusia makan. Ketika mengantuk, manusia menguap, atau tidur. Ketika melihat lawan jenis, manusia tertarik dan ingin kawin. Pada konteks ini, tak dapat disangkal bahwa manusia serupa hewan.
Tentu saja tak semua orang akan setuju dengan pandangan ini. Tentu saja kesamaan ini tak bisa begitu saja dipakai untuk menggolongkan --apalagi menyamakan-- manusia sebagai hewan. Orang-orang akan mengatakan bahwa manusia, dengan akalnya, mampu menahan itu semua. Ketika lapar, manusia tak lantas makan. Manusia akan melihat kondisi terlebih dahulu sebelum makan. Jika berada di dalam ruang kelas, manusia yang lapar tak lantas akan makan. Jika berada di tempat umum, manusia yang tertarik pada lawan jenis tak akan kawin.
Semua itu memang betul, bahwa manusia memiliki apa yang tak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Namun, apa yang hendak saya ajukan di sini bukanlah perkara perbedaan manusia dengan makhluk non-manusia. Bukan pula argumentasi bahwa manusia punya akal, dan dengan itu bisa menahan lapar, keinginan kawin, dan sebagainya. Sekali lagi, yang ingin saya gugat adalah istilah manusia yang sempurna itu saja.
Sudah tepatkah istilah 'manusia sempurna' itu dengan konsepsi yang ada di benak orang yang menyebutnya? Apakah, dengan semakin kuat manusia itu menahan keinginan-keinginannya, manusia itu dianggap semakin sempurna? Bagaimana mungkin manusia terbebas atau membebaskan diri dari keinginan-keinginan itu? Sekalipun manusia bisa menahan keinginan-keinginan itu, itu tidaklah selamanya, melainkan sesaat dan pada waktu tertentu saja. Misalnya dalam contoh manusia yang menahan lapar karena berada di dalam ruang kuliah tadi, tentu saja dia akan makan begitu jam kuliah selesai. Manusia yang menahan keinginan kawin di depan umum tadi, tentu saja akan segera kawin begitu ada kesempatan dan tidak sedang di tempat umum. Artinya, keinginan-keinginan tadi tetap ditunaikan.
Jika mengacu pada sifat-sifat manusia yang diurai terakhir ini, bukankah semestinya apa yang dikatakan sebagai manusia yang sempurna itu adalah manusia yang paling manusiawi? Maksudnya, manusia yang paling memenuhi sifat-sifat dasar manusia tadi: kawin ketika ingin kawin, makan ketika lapar, tidur ketika mengantuk?
Dari tinjauan bahasa, istilah 'manusia sempurna' itu kurang lebih berarti 'manusia yang paling manusia'. Dan jika mengacu pada uraian kebahasaan ini, bukankah berarti istilah 'manusia yang sempurna' itu merujuk pada manusia yang 'kalau ingin kawin, ya, kawin; kalau ingin makan, ya, makan; kalau ingin berak, ya, berak; dan sebagainya'?