Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terhadap LGBT, Tak Bisakah Kita Mengasihani?

4 April 2019   11:45 Diperbarui: 4 April 2019   11:49 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesalahan LGBT

Secara garis besar, ada dua cara pandang umum dalam menilai LGBT sebagai sesuatu yang salah. Pertama, LGBT salah karena menurut keyakinan (yang sering dibantu dengan argumen-argumen logis), manusia diciptakan berpasang-pasangan; laki-laki dengan perempuan. Kedua, LGBT salah karena secara biologis, laki-laki hanya bisa kawin (dalam arti bereproduksi) dengan perempuan.

Dominasi dua cara pandang itu kemudian menafikan standar-standar ilmiah semacam Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI (1993) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Source (DSM-IV), yang menyatakan bahwa LGBT bukanlah penyakit ataupun kelainan. 

Dua sudut pandang tadi juga menolak segala macam konsep tentang (kesetaraan) gender di luar laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, di mata orang-orang yang menganut pandangan dominan ini, LGBT tetaplah penyakit dan najis. Pilihannya mereka hanya dua; kalau bukan dimusnahkan, orang-orang LGBT harus disembuhkan.

Saya jadi teringat tokoh utama dalam film The Danish Girl (2015) dan Moonlight (2016). Dalam The Danish Girl yang diangkat dari kisah nyata transgender Denmark Lili Elbe, misalnya, kita menyaksikan bagaimana Einar Wegener yang terlahir dengan kelamin laki-laki, sejak kecil sudah merasakan sesuatu yang "aneh" dalam dirinya ketika ia merasa nyaman saat berada di dekat Hans Axgil, sahabatnya yang seorang laki-laki. 

Bertahun-tahun kemudian, Einar tumbuh sebagai laki-laki dewasa dan menikahi seorang perempuan bernama Gerda Gottlieb. Syahdan, "keanehan" yang lama tertidur itu bangkit kembali ketika istrinya memintanya untuk memakai gaun dan berpose layaknya perempuan, untuk dilukis. Dengan memakai pakaian perempuan, Einar--yang kemudian menjadi Lili Elbe--merasa itulah jati dirinya yang sebenarnya.

Serupa dengan Einar, tokoh Chiron dalam Moonlight juga merasakan tanda-tanda yang tak dapat dijelaskan bahwa dirinya seorang homoseksual sejak kecil. Beranjak dewasa, tanda-tanda itu tetap tak hilang. 

Bahkan ketika ia tumbuh menjadi pria bertubuh atletis dan kekar, ia tetap tak pernah punya hasrat seksual terhadap perempuan, dan sebaliknya, merasakan kenyamanan saat disentuh oleh kawannya, Kevin Jones.

Singkatnya, baik Einar maupun Chiron, dan juga beberapa kawan dan orang-orang di sekeliling kita, tidak pernah menginginkan terlahir sebagai homoseksual atau biseksual. Mereka menjadi demikian dengan sendirinya--atau dengan kata lain, secara alamiah. Lalu, apakah kita memang harus membumihanguskan mereka?

Sebagian orang mungkin tak akan pernah percaya bahwa "kelainan" mereka muncul secara alamiah, dan tetap meyakini bahwa mereka menjadi LGBT karena ulah pikiran mereka sendiri. Tapi, benarkah demikian? Banyak penelitian sudah dilakukan, dan kita mungkin masih belum puas dengan temuan yang ada.

Ke Mana Rasa Kasihan Kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun