Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerbung: Hilang (1)

9 Agustus 2015   22:52 Diperbarui: 9 Agustus 2015   22:52 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kata orang, hidup kita layaknya metamorfosis, berubah-ubah tiap waktu: bentuk, ukuran, warna, cita-cita.... Cita-cita? Ya, mungkin karena yang satu ini kita ikut mengalaminya. Beruntunglah kita kalau begitu! Kalian pikir, cuma kalian saja yang bisa, hai, Ulat, Kecoa, Belatung, Capung...!

 

Siapa sangka aku akan jadi seperti sekarang. Seperti apa rupanya? Nanti kau akan tahu. Cerita ini dengan pelan akan menyampaikan kepadamu.

 

Sekarang dengarlah dulu:

 

Di hadapanku, orang-orang pada berkumpul. Meski jumlahnya tak banyak, tapi cukup untuk menyebut bahwa itu adalah perkumpulan yang tak biasa. Hari itu akan dilakukan pembongkaran kuburan seorang perempuan. Entah siapa perempuan itu, aku tak diberitahu. 

 

Alat-alat penggali dipersiapkan. Ada cangkul, ada sekop, ada beberapa kayu. Dua pria paruh baya yang nampaknya petugas penggali kubur sedang menikmati teh manis, duduk di sebuah joglo dari bambu yang nampaknya tempat mereka sehari-hari beristirahat.

 

Di antara orang yang berkumpul, aku tak banyak mengenal. Hanya eyang, bibi, abang, yang benar-benar aku kenal. Adapun beberapa orang lain yang tak asing bagiku adalah seorang pria berparas dingin. Rambutnya pendek. Pada bola matanya nampak semacam urat-urat berwarna merah. Aku agak takut kalau bertatapan dengannya. Kemudian tetangga kami yang katanya kuliah jurusan psikologi.

 

Mobil-mobil satu per satu datang. Lantas diparkirkan di pinggir sungai yang mengalir diam. Sungai itu ditumbuhi kangkung-kangkung yang menjalar. Pada tepiannya tumbuh dengan raya rumput-rumput tajam yang tingginya mengimbangi tinggiku. Dua-tiga ibu-ibu kulihat mencuci baju. Anak-anak mereka asyik bermain air. Melihat mereka rasanya aku ingin ikut serta. Tapi manalah mungkin eyang dan bibi memperbolehkan.

 

Dokter yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka diiringi sejumlah polisi. Seumur-umur, baru kali itu aku menyaksikan kuburan dibongkar. Entah sudah seperti apa jadinya mayat yang ada di dala. Katanya, mayat itu ditimbun hampir setahun lalu itu. Apakah masih berbau bangkai, apakah masih ada dagingnya, atau sudah tulang semua. Aku yakin, pasti bukan hanya aku yang mencoba menerka-nerka. Orang-orang lain pasti juga.

 

Eyang dan bibi kulihat menangis. Mereka memeluk abang. Abang hanya diam. Dia juga nampaknya juga belum begitu paham. 

 

Proses penggalian kuburan itu berjalan cepat. Dengan bantuan dua bilal mayit yang menguburkan mayat itu setahun lalu, pengorekan tanah menjadi mudah. Mereka nampak cekatan dan paham benar kontur tanah.p Akhirnya yang hendak dikeluarkan telah diangkat. Mayat itu nampak kotor. Kain yang membalutinya tak lagi putih. Coklat senada dengan tanah yang menimbunnya

 

Kami anak-anak tak boleh mendekat. Sedangkan orang dewasa saja tak boleh terlalu lama melihat. Dokter dan polisi-polisi itu melarang kami dengan alasan yang tak kupahami. Belakangan aku mengerti: otopsi.

 

Tempat itu sendiri aku belum pernah tahu. Untuk menuju ke sana kami harus naik mobil cukup jauh. Bayangkan, untuk apa pula kami jauh-jauh hanya untuk menyaksikan pembongkaran sebuah kuburan.

 

Mayat, lebih tepatnya kain kafan kempis, itu selanjutnya dibawa dengan ambulans. Kami, aku, eyang, bibi dan abang, menuruti dari belakang. Sepanjang jalan, aku masih belum paham, bagaimana mungkin kuburan dibongkar. Bukan apa-apa, dulu, aku, anak-anak sezaman kami, selalu dicekoki cerita, atau bualan, bahwa orang yang sudah mati juga bisa marah.

 

Waktu itu aku memang tak banyak tahu. Aku juga tak ingat banyak. Yang kuingat, di atas kuburan itu, tertulis: "Mrs X. Ditemukan tewas di Hotel ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun