Â
Mobil-mobil satu per satu datang. Lantas diparkirkan di pinggir sungai yang mengalir diam. Sungai itu ditumbuhi kangkung-kangkung yang menjalar. Pada tepiannya tumbuh dengan raya rumput-rumput tajam yang tingginya mengimbangi tinggiku. Dua-tiga ibu-ibu kulihat mencuci baju. Anak-anak mereka asyik bermain air. Melihat mereka rasanya aku ingin ikut serta. Tapi manalah mungkin eyang dan bibi memperbolehkan.
Â
Dokter yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka diiringi sejumlah polisi. Seumur-umur, baru kali itu aku menyaksikan kuburan dibongkar. Entah sudah seperti apa jadinya mayat yang ada di dala. Katanya, mayat itu ditimbun hampir setahun lalu itu. Apakah masih berbau bangkai, apakah masih ada dagingnya, atau sudah tulang semua. Aku yakin, pasti bukan hanya aku yang mencoba menerka-nerka. Orang-orang lain pasti juga.
Â
Eyang dan bibi kulihat menangis. Mereka memeluk abang. Abang hanya diam. Dia juga nampaknya juga belum begitu paham.Â
Â
Proses penggalian kuburan itu berjalan cepat. Dengan bantuan dua bilal mayit yang menguburkan mayat itu setahun lalu, pengorekan tanah menjadi mudah. Mereka nampak cekatan dan paham benar kontur tanah.p Akhirnya yang hendak dikeluarkan telah diangkat. Mayat itu nampak kotor. Kain yang membalutinya tak lagi putih. Coklat senada dengan tanah yang menimbunnya
Â
Kami anak-anak tak boleh mendekat. Sedangkan orang dewasa saja tak boleh terlalu lama melihat. Dokter dan polisi-polisi itu melarang kami dengan alasan yang tak kupahami. Belakangan aku mengerti: otopsi.
Â