Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Resonansi Sang Raksasa Pangan

6 April 2016   13:03 Diperbarui: 8 April 2016   19:08 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi Berbincang Dengan Petani Yang Sedang Panen, sumber: www.katakini.com"][/caption]Indonesia sebagai negara agraris sudah mutlak memiliki sumberdaya alam yang subur dan hasil pangan yang melimpah. Bahkan, tongkat pun ditanam bisa tumbuh menjadi tanaman. Sejarah membuktikan, Indonesia dijajah selama 350 tahun karena para negara penjajah ingin menguasai secara besar-besaran komoditi pertanian Indonesia yang sangat beragam, melimpah, dan bernilai ekonomi tinggi bahkan memiiki keunggulan komparatif.

Namun, sejak negara Indonesia Raya berdiri, masyarakat petani Indonesia identik dengan masyarakat miskin dan berprofesi rendah. Para raksasa pemilik modal selalu menghegemoni kehidupan dan lahan milik petani. Lagi-lagi ini dikarenakan petani tidak memiliki modal dan kemampuan untuk mengolah lahannya. Petani beraktivitas hanya untuk mempertahankan hidup atau dikenal subsisten di bawah jeratan hutang. Kondisi ini menandakan kehidupan petani jauh dari kesejahteraan.

Bung Karno sebagai pelaku sejarah dan pejuang, telah mewakafkan diri dan keluarganya melawan raksasa kapitalis karena petani Indonesia hanya dijadikan buruh tani atau budak. Padahal, petani memiliki sawah, alat pertanian dan rumah sendiri, tetapi tidak memakan hasilnya (Adjar Any, 1978).

Di era Indonesia telah dinyatakan merdeka pun yakni Orde Baru, Orde Lama bahkan sampai di era Demokrasi, kondisi petani masih di bawah garis kemiskinan dan menjadi buruh tani. Bahkan, minat masyarakat makin menjauh untuk terjun ke pertanian. Hasil Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 membuktikan, jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan sebesar 17.728.185 rumah tangga. Jumlah tersebut turun sebanyak 979.867 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Artinya, persoalan dan keluhan petani selama ini belum terselesaikan. Hal ini tentu menyebabkan masyarakat petani belum dapat keluar dari kemiskinan. Ini merupakan problem besar yang mengganjal Indonesia untuk mengangkat komoditi pangan di mata dunia.

Faktor yang menyebabkan masyarakat petani masih dalam keadaan miskin tersebut, di antaranya disebabkan karena, pertama, kepemilikan lahan petani yang sempit. Masalah ini tentu menyulitkan para petani untuk menyangga kehidupan keluarganya. Kepemilikan lahan sawah di Indonesia saat ini rata-rata hanya 0,5 hektar. Keadaan ini jauh tertinggal jika dibanding dengan negara lain, seperti petani padi di Thailand, rata-rata memiliki luas lahan garapan 5 hektar per kepala keluarga (KK), di Malaysia 4 hektar per KK, dan bahkan di Australia mencapai 100 hektar per KK (Sumarno dan Unang, 2010).

Kedua, kemiskinan petani terjadi juga karena kemiskinan struktural. Yaitu karena adanya ketimpangan dalam struktur ekonomi negara kita atau pendistribusian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk petani. Ketimpangan ini terlihat ketika pemerintahan Orde Baru yang pembangunannya sentralistik atau sekitar 80 persen di Pulau Jawa, sedangkan daerah timur dan lainnya hanya 20 persen. Kondisi ini tentu berdampak pada perhatian pemerintah di sektor pertanian dalam memberikan bantuan dan apapun bentuk insentif pemerintah pada sektor pertanian.

Ketiga, jaminan harga yang diberikan pemerintah melalui harga pembelian pemerintah (HPP) selama ini tidak wajar. Penentuan besaran HPP hanya memperhitungkan pengeluaran petani dari segi input produksi saja. Namun, biaya petani yang tidak terlihat seperti biaya sosial, biaya menunggu selama masa panen dan biaya penyusutan alat pertanian dan peralatan rumah tangga tidak diperhitungkan. Harga pangan petani pun selama ini lebih banyak diserahkan pada sistem mekanisme pasar. Contoh, maraknya Impor beras raskin menyandera harga produksi petani yang notabenenya high quality.  

Harus diketahui, sistem mekanisme pasar menyebabkan bargaining position pedagang relatif kuat dibandingkan produsen dan konsumen sehingga profit marjin yang dinikmati pedagang jauh lebih tinggi dibandingkan dari produsen. Faktanya, secara agregat bahwa total marjin dari tujuh komoditas pangan yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, gula dan daging sapi mencapai Rp 384 triliun dengan rincian marjin yang dinikmati 318 ribu pedagang Rp 297 triliun (77,3%), sedangkan 104 juta produsen menikmati marjin Rp 87,9 triliun (22%). Dengan demikian besarnya marjin tidak seimbang yakni 1 berbanding 1.116. Ketimpangan ini telah berlangsung lama dan berkontribusi sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan petani (Suwandi, 2016).

Bagaimana menuntaskan kemiskinan petani dan menjadikan Indonesia Sang Raksasa Pangan?

Pemerintahan Jokowi-JK telah mengedepankan persoalan pangan sebagai persoalan fundamental yang dapat mengancam kedaulatan negara. Sebab, apabila negara kita mengalami kelangkaan bahan pangan, maka akan terjadi kerusuhan di mana-mana yang mengarah pada disintegrasi sosial. Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan produksi, menghemat biaya petani dan perlindungan petani dengan tujuan agar petani dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Bahkan agenda besarnya adalah menjadikan Indonesia Sang Raksasa Pangan.

[caption caption="Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman Berbincang Dengan Petani di Kab. Tuban, Jatim Yang Sedang Melakukan Panen Padi, Sumber: Dok. Humas Kementan"]

[/caption]Pertama, pemerintah telah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 172/2014 tentang tender ke penunjukan langsung (PL), refocusing  anggaran 2015 sebesar Rp 4,1 triliun dan 2016 sebesar Rp 4,3 triliun, bantuan benih tidak di lahan existing, dan membentuk tim program upaya khusus (Upsus). Dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah berhasil merealisasikan kegiatan rehabilitasi irigasi tersier sebesar 2,6 juta ha, optimasi lahan sebesar 932 ribu ha, penyaluran alat mesin pertanian (alsintan) sebanyak 65.421 unit yang berhasil menghemat biaya petani 20 hingga 30 persen dan di tahun 2016, bantuan alsintan ditingkatkan menjadi 100 ribu unit. Pemberian bantuan ini tidak pandang bulu atau hanya terpusat di beberapa daerah saja, namun dilakukan secara merata dari Sabang sampai Merauke.

Alhasil, berdasarkan data BPS sebagai satu-satunya lembaga negara yang memiliki legitimasi untuk mengolah dan mengeluarkan data, menyebutkan kegiatan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan yakni pada penambahan luas tanam sebesar 630 ribu ha, peningkatan produksi pada tanaman padi sebesar 74,99 juta ton atau naik 5,85%, jagung sebesar 19,83 juta ton atau naik 4,34%, kedelai sebesar 982 ribu ton atau naik 2,93%.

Peningkatan hasil di atas, turut mendorong terjadinya peningkatan pendapatan petani. Ini dibuktikan oleh tingkat kesejahteraan petani di tahun 2015 meningkat lebih baik dibandingkan dengan 2014 sesuai indikator Nilai Tukar Petani (NTP). Sampai dengan Desember 2015, NTP mengalami kenaikan sebesar 1,49 persen. Kenaikan ini dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani (5,15 persen) lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (3,61 persen).

Kedua, untuk memberikan jaminan harga yang wajar terhadap hasil petani, di tahun 2016 ini pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Nomor 05/Permentan/PP.200/2/2016 tentang pedoman harga pembelian beras. Dalam Permentan tersebut, ditetapkan harga pembelian beras  di luar kualitas di Gudang Bulog untuk beras kualitas rendah sebesar Rp 7.150 per kg, medium atau sesuai HPP sebesar Rp 7.300 per kg, premium I sebesar Rp 7.500 per kg dan premium II sebesar Rp 7.700 per kg. Dengan demikian, apa yang menjadi keluhan petani ketika musim panen yakni harga jatuh, dapat terselesaikan dengan memberikan keuntungan bagi petani. Keuntungan ini jelas telah memperhitungkan biaya input dan juga biaya lainnya. Kemudian, Permentan tersebut, juga dapat menjamin petani dari praktek liberalisasi pasar yang menyebabakan petani selalu merugi.

Ketiga, pemerintah juga saat ini menaruh perhatian lebih pada memperpendek rantasi pasokan yakni membangun Toko Tani Indonesia (TTI) sebanyak 38 unit di tahun 2015 dan di tahun 2016 ditargetkan 1.000 TTI. Keberadaan TTI ini sangat jelas memberikan nilai tambah pada petani ketika memasarkan hasil panennya untuk mendapatkan tambahan keuntungan dari berkurangnya mata rantai pasokan dari 8 rantai menjadi 3 hingga 4 rantai pasokan.

Keempat, pemerintah merealisasikan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan pertani. Bentuk kebijakan yang diberikan di antaranya dengan mengucurkan fasilitas asuransi pertanian untuk melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat bencana alam, wabah penyakit hewan menular, perubahan iklim dan juga jenis risiko lainnya. Dengan adanya UU ini pun, pemerintah akan memberikan bantuan ganti rugi untuk petani yang gagal panen akibat kejadian luar biasa sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Kelima, pemerintah telah memfasilitasi dan mendorong ekspor produksi petani yang memang high quality dan telah diakui memenuhi standar pangan sehat dunia. Menurut data Kementerian Pertanian, sepanjang tahun 2015 pemerintah telah mengekpor ekspor jagung sebanyak 400 ribu ton, bawang merah 5.834 ton, kacang hijau 60.000 ton, mangga 100 ribu, telur tetas, salak 1.800 ton, beras organik 1.493 ton, pisang 19.073 ton, dan ekspor nanas 133.195 ton. Kemudian, berdasarkan data BPS, pertumbuhan buah manggis meningkat sebesar 26.76 persen per tahun, melon 13.58 persen per tahun, duku 10.77 persen per tahun, belimbing 8.90 persen per tahun, salak 8.30 persen per tahun, pepaya 5.76 persen per tahun, nenas 4.79 persen per tahun, alpukat 4.73 persen per tahun, markisa 3.79 persen per tahun dan durian 3.77 persen per tahun.


Selain itu, data Kementerian Perdagangan menyebutkan, pada tahun 2015 terhitung Januari hingga November, nilai ekspor kopi tercatat mencapai US$ 1,12 miliar atau meningkat 19,4 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014. Saat ini pun Indonesia menempati urutan ke 3 produsen kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun 2014 total produksi kakao mencapai 700.000 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,24 miliar. Perhatian pemerintah terhadap komoditi yang satu ini tampak semakin tinggi. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di pertengahan tahun ini pun menargetkan tahun 2020 Indonesia akan jadi penghasil kakao nomor wahid di dunia.

Namun patut juga dicatat, asumsi impor beras sebagai indikator pelemahan kedaulatan pangan tidak bisa lagi dijadikan patokan untuk mengingkari keberhasilan kebijakan dan program yang mendongkrak produktivitas petani. Sebab, produksi petani yang kelasnya super harganya pun tinggi, tentu mustahil kita temukan petani yang menanam untuk pasokan kebutuhan masyarakat miskin.

Di sinilah faktanya, kenapa impor tetap berlangsung. Karena merupakan tanggung jawab pemerintah yang harus tetap menyediakan beras Raskin bagi 19,1 juta rumah tangga miskin. Sementara, 26 juta petani produksinya jauh di atas kelas Bulog. Untuk itu, satu-satunya jalan mensejahterakan petani, pemerintah harus mengambil peran untuk menutupi defisit akibat impor beras murah, yakni mengeskpor produksi petani dalam negeri.

Oleh karena itu, rentetan capaian keberhasilan di atas merupakan hasil kerja keras dari penjewantahan kebijakan bidang pangan pemerintahan Jokowi-JK. Dengan besarnya ekspor, melimpahnya produksi petani tidak menyebabkan harga panga hasil petani terseret dan pangan hasil petani tidak berkutat di dalam negeri saja. Ini mengingat tingginya kebutuhan masyarakat dunia atas pangan sehat. Artinya, pemerintah sangat jelas dapat menjawab dan mengurai masalah yang melilit petani selama ini. Masalah tersebut yakni kemiskinan.

Resolusi kebijakan di atas pun guna untuk mengakomodasi kepentingan seluruh elemen bangsa yang harus dijamin oleh pemerintah dan tanggung jawab konstitusional pemerintah atas kesejahteraan petani. Untuk itu, capaian keberhasilan di atas merupakan bukti dan indikator bahwa pemerintahan Jokowi-JK dapat mengangkat pangan Indonesia di mata dunia. Kenyataan ini merupakan keniscayaan bagi Indonesia untuk menjadi Sang Raksasa Pangan Dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun