Mohon tunggu...
Abiwodo SE MM
Abiwodo SE MM Mohon Tunggu... Bankir - Professional Bankers, Student at UI

Bankers yang selalu fokus terhadap "goal-oriented with an eye for detail, a passion for designing and improving creative processes also expertise in corporate relations" Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di UI.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

RUU PPSK, Koperasi Naik Kelas?

5 Desember 2022   16:34 Diperbarui: 5 Desember 2022   16:47 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan, di penghujung 2022 ini, koperasi menjadi buah bibir. Bukan! Bukan soal koperasi simpan pinjam yang bermasalah, kasus gagal bayar, atau kasus penipuan. Perbincangannya kali ini muncul dari Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK), yang kini tengah digodok Komisi XI DPR.

Nah, dalam draft RUU tersebut ada usulan pengadaan kompartemen koperasi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jadi, koperasi akan berada di bawah pengawasan OJK, dan mendapatkan perlakuan yang sejajar dengan perbankan atau bisnis keuangan lainnya. Ya, sudah tentu yang kita bicarakan adalah pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP).

Sayangnya, para pegiat koperasi tidak setuju dengan pengawasan OJK ini. Aturan baru itu dinilai tumpang tindih dengan UU 25/1992 tentang Perkoperasian, yang mengisyaratkan segala urusan perkoperasian ada di bawah Kementerian Koperasi. Lagi pula, mereka menilai tugas OJK adalah mengatur dan mengawasi industri/lembaga jasa keuangan yang bertransaksi dengan masyarakat. Sedangkan usaha KSP tidak melakukan transaksi dengan masyarakat, melainkan dengan anggota.

Tapi kalau kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, dalam UU lawas tentang koperasi itu kementeriannya tidak memiliki fungsi pengawasan keuangan. Betul juga apa yang dikatakan Pak Menteri. Berdasarkan beleid tersebut, koperasi mengawasi dirinya sendiri oleh anggota, rapat anggota, atau badan pengawas yang berasal dari pengurus koperasi itu sendiri.

Intinya, Pak Teten setuju dengan pengawasan KSP oleh OJK. Namun perlakuan pengawasannya harus khusus, tak bisa disamaratakan dengan perbankan, lantaran perbedaan kultur dan prinsip antara koperasi dengan perbankan.

Tapi dalam tulisan ini saya tidak mau membahas soal pro-kontra RUU PPSK atau perkara hukumnya. Yang saya bicarakan adalah perlunya membangun sistem keuangan yang inklusif, sustainable, yang bisa meningkatkan kepercayaan pasar di sektor keuangan, dan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Koperasi 'Naik Kelas'

Koperasi, kalau kata Bung Hatta, adalah soko guru perekonomian Indonesia. Sebuah pilar ekonomi, yang menurut saya tidak boleh tergerus zaman. Ironinya, yang muncul selama ini justru kabar tidak sedap karena kasus gagal bayar, penipuan, dan lain-lain, yang justru berpotensi merugikan negara, masyarakat, dan nama koperasi itu sendiri.

Apalagi, sampai hari ini, masih banyak masyarakat yang membutuhkan pinjaman dari koperasi lantaran belum bisa mengakses bank. Bahkan ada jutaan UMKM tercatat belum bisa mengakses pembiayaan formal karena kendala kolateral. Di sinilah peran penting koperasi, memberikan kemudahan akses pembiayaan bagi masyarakat.

Namun, prinsip 'dari anggota untuk anggota' dalam kultur KSP membuat pemberian pinjaman tidak terlalu ketat seperti di bank. Artinya, risiko terjadi masalah akan selalu ada. Sebab itulah koperasi harus sehat, ada tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel. Ya, sama seperti kita membicarakan ketahanan perbankan saat ketidakpastian global menghantui, ketahanan koperasi pun wajib dijaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun