Berjalannya pengunduran seluruh Pemilu ke tahun 2024 menjadi sebuah kontroversi. Bagaimana tidak, pemilihan presiden dan wakil presiden; kepala daerah; dan anggota legislatif dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Bukan hanya anggaran saja yang 'besar', namun hal ini bertendensi menjadi suatu hal yang inkonstitusional.
Lantas, apakah ini demi kepentingan rakyat atau kasak kusuk elit semata? Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhirnya menetapkan tanggal 14 Februari 2024 sebagai hari penting agenda politik nasional: Pemilihan Umum 2024---yang dilaksanakan secara serentak dan bersamaan dalam satu hari pemungutan suara.Â
Menanggapi hal tersebut, Dewan Pembina Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Titi Anggraini menyatakan bahwa Pemilihan Umum 2024 nanti diperkirakan akan menjadi pemilihan umum terbesar sekaligus tersulit di dunia. Bayangkan saja, akan ada pergantian kepemimpinan presiden dan wakil presiden; 542 kepala daerah; dan 20.528 legislatif dalam satu waktu yang sama.Â
Dari beberapa sumber yang saya kumpulkan, usulan anggaran pembiayaan Pemilihan Umum serentak 2024 ditaksir dan ditafsir mencapai tiga kali lipat daripada akumulasi anggaran Pemilihan Umum 2019.
Apabila anggaran Pemilihan Umum 2019 yang notabene berada di kisaran angka Rp 27-28 triliun itu benar, maka artinya Pemilihan Umum serentak 2024 memerlukan pembiayaan sebesar kurang lebih Rp 84-86 triliun.
Luar biasa? Tidak, ini fantastis. Angka tersebut rasanya dapat membangun infrastruktur dan suprastruktur dalam interval lima tahun sekelas Ibu Kota Negara yang notabene penyiapan anggaran APBD-nya berkisar di angka Rp 79-80 triliun. Belum lama penetapan tersebut dilakukan oleh KPU, diskursus publik terus berkembang dengan sangat masif dan progresif, salah satunya adalah wacana pengunduran Pemilihan Umum 2024.Â
Terdapat tiga tokoh utama yang mulai menggulirkan isu tersebut, antara lain Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar); Zulkifli Hasan (Ketua Umum Partai PAN); dan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) yang notabene merupakan bagian daripada koalisi Jokowi-Amin.Â
Namun, sebagian koalisi yang lainnya, seperti Nasional Demokrat dan PDIP justru menentang secara tegas. Alasannya adalah Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan di tahun 2024 dikhawatirkan akan menyebabkan stagnasi dan ketidakpastian ekonomi, ditambahkan juga bahwa konflik sarat terjadi pada pemilu tersebut, sehingga pengunduran menjadi opsi paling tepat didalamnya.Â
Yakin betul Bapak-Bapak ini? Yakin alasannya untuk itu? Bukan supaya keamanan proyek oligarkis tetap berjalan? Sebetulnya opsi pengunduran pemilihan umum secara regulatif memang ada, yaitu dalam kondisi darurat seperti bencana alam hebat dan kericuhan besar.Â
Masalahnya, Indonesia sampai hari ini tidak mendapatkan situasi tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 secara tegas dinyatakan---dalam Pasal 7---bahwa periodisasi masa jabatan presiden adalah lima tahun, sehingga apabila pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 dipaksa untuk diundur dalam tempo yang belum dapat ditentukan, maka hal tersebut berpeluang untuk melanggar amanat Konstitusi Republik Indonesia.Â
Begitupun para 542 kepala daerah dan 20.528 legislatif---berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014---yang habis masa jabatannya pada 2024, maka berpotensi melanggar peraturan perundangan sebagai dampak daripada pengunduran waktu Pemilihan Umum 2024.