Mohon tunggu...
abi nabih
abi nabih Mohon Tunggu... -

aktivis th 90an

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Jokowi-Imin (JOIN) adalah Pilihan Kemashlahatan Bangsa

15 Maret 2018   21:50 Diperbarui: 15 Maret 2018   22:10 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam tradisi pesantren, setiap kali mengahadapi suatu permasalahan selalu memakai kaidah fiqhiyyah yang memandu keputusannya. 

Misalnya ketika menghadapi suatu dilemma, maka kaum santri ini biasanya akan menggunakan kaidah "idza ta'aradla al mafsadataani ru'iya a'dhomuha birtikabi akhofi dlororoin", (jika terbentur dua masalah yang merusak, maka diprioritaskan menghapus yang lebih merusak untuk mengambil yang lebih ringan bahayanya). Kemudian ketika seseorang menghadapi dua pilihan apakah mengambil sisi manfaatnya atau mencegah kerusakan? 

Maka dalam kaidah fiqih tertulis "dar'ul mafasid muqodamun ala jalbil masalih" (mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil manfaat). Pola pikir seperti inilah yang membentul nalar atau konstruksi nalar warga santri dan kaum nahdliyin pada umumnya.

Kemudian bagaimana warga nahdliyin ini dalam menentukan figure pemimpin nasional? Ketika kemunculan presiden Soekarno, NU mengesahkannya dengan memberinya gelar secara fiqih sebagai "waliyul amri al-dhorury bi al-syaukah" (yakni: Penguasa yang berwenang mengatur semua urusan dasar umat). Dengan ditetapkannya presiden Sukarno dengan gelar tersebut, artinya bentuk Negara atau pemerintahan ini sebagai Negara Republik dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 dianggap sudah final. 

Perdebatan mengenai bentuk Negara atau hubungan agama dan Negara dianggap selesai, dan tidak boleh diubah. Kemudian dilanjutkan dengan kepemimpinan Soeharto, seotoriter apapun pemerintah Orde baru ketika awal pemerintahannya dengan memaksakan Golongan Karya untuk menjadi Partai terbesar dan berkuasa, sikap NU tetap melihat bahwa kepemimpinannya tetap wajib ditaati sebagai pemerintah yang sah. Dengan kaidah "dipimpin oleh seorang dictator sekalipun itu lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali". 

Artinya NU punya pandangan fikih bahwa situasi teroganisir yang stabil dan damai lebih baik daripada kekacauan tanpa pemimpin. Lagi-lagi "dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil masalaih".

Begitu juga ketika pergantian pemimpin melalui reformasi 1998 berganti kepada presiden Habibi, yang sebelumnya adalah Wakil Presiden dari presiden Soeharto. Artinya NU selalu berusaha agar proses pergantian kepemiminan nasional berjalan damai dan konstruktif. Disini letak pandangan fikihnya, yakni kemashlahatan menjadi pijakan. 

Dengan suatu pandangan fikih bahwa dimana ada kemashlatan maka disitulah prinsip syariah. Prinsip kemashlahatan bangsa ini berjalan melalui demokrasi pancasila inilah yang kemudian menjadi landasan berdemokrasi dan proses pergantian kepimpinan nasional atau pemilihan presiden dan wakil presiden. Konstitusi kita kemudian, pasca reformasi, membatasi periode kepemimpinan menjadi hanya 2 (dua) periode. 

Dan Alhamdulillah, terlepas ada beberapa kontroversi, pergantian presiden dari Habibie ke Gusdur, lalu Megawati, berlanjut ke Susilo Bambang Yudoyono, hingga Joko Widodo hari ini, semua berjalan secara damai dan konsitusioal. Inilah fakta keteguhan masyarakat kita dalam memegang prinsip kemshlahatan dan kehidupan damai, yang tentu saja bisa dianggap syar'iy, sehingga bangsa ini terhindar dari perpecahan dan kehancuran. 

Hal ini menjadi kekuatan social budaya kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara di belahan bumi lain, terutama dunia timur tengah, kehancuran dan perang saudara masih terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara meraka.

Lalu bagaimana kita menghadapi pemilihan presiden 2019 depan? Bagaimana kita melewati pilpres tersebut secara damai dan mashlahah bagi bangsa ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun