Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Usai Demo Mahasiswa, Kualitas Demokrasi Indonesia Semakin Buruk

27 September 2019   12:29 Diperbarui: 27 September 2019   12:34 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ig jakarta.ku

Banyak orang berharap termasuk saya bahwa apa yang dilakukan teman-teman mahasiswa dalam aksi unjuk rasa 23-24 kemarin dapat membuka alam demokrasi di Indonesia akan semakin lebih membaik. Namun ternyata seusai demo atau setelah melakukan dialog dengan DPR dan Pemerintah diruang publik, kualitas demokrasi yang diharapkan malah terlihat semakin memburuk.

Seperti kita tahu bersama bahwa peristiwa penangkapan secara sewenang-wenangan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sutradara film dokumentery Dandhy Laksono dan Aktivis Human Rigths Ananda Badudu semalam, merupakan sikap pemerintah nyaris belum mendengar aspirasi mahasiswa ketika aksi unjuk rasa kemarin.

Sepertinya Indonesia sedang asyiknya memperlihatkan buruknya alam demokrasi dengan melakukan penangkapan secara sewenang-wenang hanya karena sebuah postingan. Anti kritik saat ini sedang diperlihatkan negara, pembatasan ruang berekspresi, itulah yang sedang kita hadapi.

Bahwa persoalan penundaaan pembasahan RUU KUHP dan beberapa RUU lainnya naas telah clear dalam dialog yang dilakukan perwakilam pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus yang saat ini masih menjadi trending youtube.

Patut kita untuk selalu mengapresiasi apa yang dilakukan. Iya, hal ini di dasarkan setelah berjatuhnya korban hingga ada yang meninggal dunia. Tetapi kita harus bertanya lagi, apakah sudah selesai pergerakan mahasiswa? Kenapa demokrasi masih saja di kebiri? Inilah PR kita bersama.

Namun pasalnya, ada semacam ejekan oleh pemerintah terhadap masyarakat sipil. Penangkapan terhadap Dandhy Laksono merupakan bentuk ejekean yang dilakukan. Aspirasi mahasiswa dan rakyat terasa tak berguna bagi pemerintah sehingga aparatnya terlihat sadis dan brutal dalam mengamankan orang-orang kritis seperti Dandhy.

Hal lain yang ditunjukan adalah, pemerintah secara otoriter tengah membuat pembatas antara proses kebudayaan dialetika dan Papua. Dandhy Laksono ditangkap ketika memposting soal penembakan yang dilakukan aparat terhadap rakyat Papua di Wamena kemarin.

Ruang dialog yang kritis terkait pelanggaran HAM di Papua semacam menjadi virus mematikan bila terlintas di telinga pemerintah. Di sisi lain pola represfitas dan kekerasan menjadi alat alternatif untuk menstabilkan kekuasaan. Sebenarnya siapa yang lebih makar, pemerintah atau rakyat?

Lantas, kita semua jangan sampai lupa soal perilaku rasisme yang baru-baru ini terjadi dan secara cepat dialihkan pikiran kita terhadap isu-isu yang lain. Pemerintah harus selalu kita kritisi entah dari segi policy, dan lemahnya distribusitife social justice.

Bagaimana dan dalam hal apapun kita semua bersepakat menolak kekerasan. Demokrasi akan selalu buruk bila kekerasan dan anti kritik tumbuh subur di berbagai instansi negara. Suara publik berpotensi memperbaiki bukan menjatuhkan. Oleh sebabnya, jangan sampai baperan pemerintahnya sehingga tindakan sewenang-sewenang di produksi secara massif.

Kepolisian dalam hal ini juga harus selalu bersikap profesional dalam menjalankan tugas. Bila ingin memukul kenapa tidak ikut kejuaran Mixed Martial Arts (MMA) saja. Bukannya tugas kalian mengamankan kondisi sosial? Ah sudahlah, mari kita belajar berdemokrasi dengan berperikemanusiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun